Salin Artikel

Singapura Punya Merlion, Cirebon Bakal Punya Singa Barong

KOMPAS.com - “Kalau Singapura punya Merlion (ikan berkepala singa) sebagai penanda Singapura, maka Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan, akan memiliki patung Singa Barong di tengah alun-alun Keraton Kasepuhan.

Bedanya, kalau patung Merlion memiliki tinggi 8,6 meter, maka tinggi Singa Barong 6 meter. Sama seperti patung Merlion, dari mulut Singa Barong akan keluar air memancur,” kata Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA (Pangeran Raja Adipati) Arief Natadiningrat saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Senin (8/10/2018) siang.

Sang raja tidak cuma bermimpi, “Tahun depan insya Allah mulai dikerjakan. Dananya berasal dari CSR (corporate social responsibility) Bank Mandiri Syariah senilai Rp 10 miliar,” ungkapnya.

Alun-alun seluas sekitar 1,5 hektar tersebut, lanjut Arief, akan diwarnai taman bunga warna-warni, deretan pepohonan rimbun, taman bermain, lampu-lampu taman, dan beberapa gazebo tempat pengunjung beristirahat.  Di sana juga akan dibangun panggung terbuka, dan deretan toilet di bawah alun-alun.

“Konsepnya mirip pembangunan taman di areal Patung Pembebasan Irian, di Jakarta Pusat, tetapi dengan memadukan unsur lokal keraton kasepuhan,” papar Arief.

Membongkar Pasar Mini

Bersamaan dengan pembangunan patung pancuran singa barong tersebut, “pasar mini” Teh Poci seluas 2.000 meter persegi yang berada di salah satu sudut alun-alun, akan dibongkar  dan diperluas menjadi dua lantai.

“Kami bekerja sama dengan pihak PD Pasar Kota Cirebon. Perjanjian sudah ditandatangani, cetak birunya pun sudah dibuat, tinggal menunggu pelaksanaannya tahun depan,” tutur Arief.

Direktur Utama PD Pasar, Akhyadi yang dihubungi terpisah, Senin sore membenarkan.

“Insya Allah kami akan mulai membangun pada bulan September tahun depan dengan biaya sekitar Rp 800 juta. Lantai dua akan kami bangun sebagai warung-warung makan bermenu makanan Majakuning Ciayu (Majalengka, Kuningan, Cirebon, Indramayu). Lantai bawah untuk gerai penjual oleh-oleh dan cendera mata Majakuning Ciayu. Usulan sultan begitu,” papar Akhyadi.

Menurut dia, pihak Keraton Kasepuhan sudah sepakat meminjamkan tanah keraton di lokasi “pasar mini” tersebut secara gratis untuk menampung para pedagang kaki lima (PKL) yang berada di sekeliling alun-alun.  

Arief membenarkan. “Nanti lapak-lapak PKL di sekeliling alun-alun akan dibersihkan. Para PKL akan ditampung di Teh Poci. Pihak PD Pasar yang akan mengatur mereka. Jika jumlah PKL lebih banyak dari ruang yang tersedia, ya diseleksi berdasarkan kualitas jualannya. Pokoknya cukup enggak cukup, PKL hanya akan ada di lokasi Teh Poci. Lingkungan depan Keraton Kasepuhan harus bersih dari PKL,” tegas Arief.

Dengan kebijakan ini, bukankah langkah pemeliharaan di sekeliling alun alun bakal membutuhkan personel tramtib (ketenteraman keamanan dan ketertiban)?

“Benar, mungkin kami akan menambah beberapa petugas tramtib di sana untuk sekadar mengingatkan para pelanggar. Tetapi bukan cuma itu. Kami juga akan melakukan pendekatan silaturahmi dengan para pedagang dan warga sekitar, dan membangkitkan kesadaran usaha pariwisata terhadap mereka,” jawab Arief.

Ia mengatakan, karena “pasar mini” Teh Poci bakal buka 24 jam, tiap gerai bisa digunakan secara bergantian di antara para PKL.

“Kan bisa diatur bagi-bagi rezekinya. Kalau Jakarta bisa, kenapa kita tidak?” tandasnya.

Kesejahteraan pekerja keraton

Beberapa waktu sebelumnya, Arief menjelaskan tentang usahanya meningkatkan kesejahteraan para pekerja keraton, termasuk abdi dalem keraton.

Ia mengatakan, sebelum dirinya naik takhta, jumlah pekerja termasuk abdi dalem di sini hanya 15 orang, dengan honor rata-rata cuma Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu per bulan.

Tetapi setelah Arief naik takhta pada 30 April 2010, ia menambah para pekerja keraton menjadi 100 orang dengan upah setara upah minimum kota Cirebon, yakni sebesar Rp 1,8 juta per bulan, ditambah makan siang.

“Saya harus realistis, pengabdian mereka terhadap keraton harus diganjar dengan pendapatan yang layak. Tak bisa lagi hanya diganjar dengan tepukan pundak, pujian, dan tutur kata yang santun. Mereka butuh masa depan yang lebih baik. Kalau masa depan mereka menjadi lebih baik, itu artinya masa depan Keraton Kasepuhan pun akan lebih baik,” tegas Arief. Tahun 2013, lanjut Arief, sebanyak 80 pekerja keraton menerima Jamsostek (kini BPJS).

Untuk membayar pekerja di Gua Sunyaragi Arief mengakui, masih mengandalkan hasil penjualan tiket dari 20 ribu pengunjung setiap bulan.

“Setahap demi setahap akan kami perbaiki kesejahteraan mereka, seiring dengan bertambahnya sumber-sumber pendanaan yang masih terus kami cari sambil terus memromosikan Keraton Kasepuhan,” tutur Arief.

Tentang peningkatan kesejahteraan para pekerja keraton, pengelola Keraton Kacirebonan, Elang Agus Zulkarnaen yang ditemui terpisah mengakui, pihaknya masih kesulitan mendapatkan sumber dana untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja keraton.

Di keraton tersebut ada 200 pekerja termasuk abdi dalem keraton. Dari jumlah tersebut, hanya delapan orang yang aktif. Itu pun di bawah Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporabudpar) Kota Cirebon.

“Pihak keraton hanya mampu memberi uang pengabdian (upah) mereka Rp 150 sampai Rp 200 ribu setiap bulan dari hasil tiket masuk rata-rata 900 pengunjung setiap bulan,” papar Agus. Harga tiket masuk di keraton tersebut Rp 10 ribu per orang.

Juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina yang ditemui terpisah beberapa pekan lalu mengatakan, upah sekitar 10 pekerja Keraton Kanoman termasuk abdi dalem, Rp 300 – Rp 800 ribu.

“Sumber dana berasal antara lain dari hasil menyewakan tanah keraton sebagai pasar di Pasar Kanoman. Sumber dana dari tiket masuk keraton  belum ada karena kami belum menetapkan tiket masuk keraton,” ucap Arimbi.

Beberapa pekerja keraton, lanjutnya, mengandalkan pendapatan dengan menjadi pemandu wisata.

“Upahnya tidak ditentukan, tetapi rata-rata sekitar Rp 50.000 untuk sekali memandu individu maupun rombongan,” ujar Arimbi.

Sejumlah langkah yang dilakukan Arief untuk membuat lingkungan keraton menjadi lebih “hidup” dan mandiri dengan mendapatkan sumber-sumber dana baru pengelolaan, sudah sepatutnya dicontoh oleh para pewaris dan pengelola keraton di Indonesia. Lebih-lebih setelah Arief menerapkan manajemen modern, tanpa meninggalkan hubungan emosional dan sosial di lingkungannya.

https://regional.kompas.com/read/2018/10/09/18484891/singapura-punya-merlion-cirebon-bakal-punya-singa-barong

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke