Salin Artikel

Slaman, "Monster Laut" Penjaga Mangrove...

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Masyarakat Desa Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, kini sudah tidak lagi mengeluarkan uang setiap tahun untuk memperbaiki penahan tambak garam dan udangnya karena rusak diterjang ombak.

Sebab, tambak mereka sudah dilindungi oleh ribuan pohon mangrove. Mangrove yang melindungi tambak mereka, kini luasnya mencapai 44 hektar.

Untuk menghasilkan hutan mangrove seluas 44 hektar itu bukan pekerjaan singkat. Di tangan Slaman (48), warga Dusun Bungkaleng, Desa Lembung, mangrove menjadi mata pencaharian, sekaligus pelindung bagi warga.

Slaman, aktivis lingkungan sudah bekerja keras agar laut di Kecamatan Galis tidak dirusak oleh tangan-tangan jahat.

Slaman mulai tertarik untuk memperbaiki pantai yang rusak parah, sejak ia duduk di bangku SMP. Setiap pulang sekolah, ia bersama almarhum bapaknya, rutin ke pantai memperbaiki hutan mangrove yang terus-terusan ditebang oleh warga.

Ia diajari membibit mangrove, menanam dan menjaganya agar bisa tumbuh sehat.

"Almarhum bapak saya dulu kalau ada buah mangrove jatuh kemudian ditanam. Orang lain tahunya hanya menebang, tidak pernah menanam," kenang Slaman saat ditemui Kompas.com, Minggu (23/9/2018).

Lulus SMP, ayah kandung Slaman meninggal. Slaman sendirian menjaga laut.

Ia diberi wasiat agar istikamah menjaga pantai, rajin menanam, dan menjaga mangrove. Slaman mendapat cibiran warga karena masih "bau kencur" sudah berani menasehati orang agar jangan merusak hutan mangrove.

"Saya sabar menjalankan wasiat almarhum bapak. Hutan mangrove menjadi tempat tinggal saya, karena di sana saya buat pos pantau," ujar Slaman.

Siang malam Slaman tinggal di pos pantau hutan mangrove. Dengan adanya pos pantau, warga yang terang-terangan sering menebang mangrove menjadi risih.

Ketika ada warga membawa parang atau gergaji, selalu didatangi oleh Slaman dan diminta agar tidak menebang.

"Kalau masih ada saya, mereka malu. Tapi mereka menyelinap lewat jalan lain. Mereka berubah tidak langsung menebang dan dibawa pulang, tetapi digergaji dulu kemudian dibiarkan pohonnya kering, baru dibawa pulang untuk dibuat kayu bakar," imbuh suami dari Nurul Imana ini.

Agar kebiasaan menebang warga berubah, Slaman tidak langsung melarang mereka. Warga boleh menebang, asalkan bisa menanam bibit mangrove sebanyak 25 pohon. Warga ada yang mau dan ada yang tidak.

Perlahan, jumlah mangrove yang ditanam semakin meluas. Setelah mangrove mulai membesar, warga mulai kesulitan memasuki hutan karena rapatnya pohon mangrove.

Mangrove yang ditebang mulai sulit dibawa pulang karena tertutup pohon mangrove yang mulai membesar.

"Saya sendiri setiap hari menanam mangrove minimal 15 bibit. Setelah 22 tahun, hutan mangrove sudah bisa menutupi sepanjang pantai Desa Lembung hingga mencapai 44 hektar," ungkapnya.

Setelah terbentuk hutan mangrove, 20 persen warga yang meninggalkan desa karena mencari penghasilan keluar, kini sudah kembali lagi ke laut. Tanggul tambak garam dan udang yang setiap tahun jebol karena dihempas ombak, kini sudah aman.

Biasanya, warga mengeluarkan uang Rp 3 juta untuk memperbaiki tanggul, kini sudah bisa dijadikan modal bahkan bisa buat biaya pendidikan anaknya.

Nelayan sudah tidak jauh-jauh mencari ikan, kerang-kerang yang menempel di pohon mangrove bisa dijual.

Kerelaan Slaman menjadi penjaga pantai, banyak dukanya dibanding sukanya. Ia dituduh antek dinas dan Perhutani.

Bahkan ia dicap sebagai "monster" laut. Sebab, dimana ada orang diam-diam merusak pantai dan mangrove, Slaman selalu ada di dekatnya. Slaman menjadi penebar teror bagi perusak mangrove.

"Saya sampai dijuluki monster laut oleh warga. Tetapi saya tetap tabah demi lingkungan pantai tidak dirusak mereka," kata pria dengan dua anak ini.

Kini, dengan berbagai macam keuntungan yang diperoleh warga dengan adanya hutan mangrove, mereka sudah bisa bersama-sama menjadi penjaga laut.

Ketika ada salah satu warga yang merusak, mereka langsung bertindak sendiri tanpa dikomando Slaman.

Bahkan, warga yang kini terbentuk menjadi Kelompok Masyarakat (Pokmas) Sabuk Hijau, rutin melakukan patroli bersama petugas Perhutani dan TNI dalam menjaga laut.

"Kalau hari Jumat, Pokmas Sabuk hijau ada kegiatan bersih-bersih pantai. Mereka juga ada pertemuan rutin anggota Pokmas setelah ada koperasinya. Koperasi Sabuk Hijau sudah 11 tahun berjalan aktif," kisahnya.

Bagi Slaman, laut sudah menjadi sumber kehidupan bagi keluarganya. Slaman bisa menjual bibit mangrove, membuat kopi dari buah mangrove dan mengambil madu yang bersarang di pohon-pohon mangrove.

Kerang-kerang yang tinggal di akar mangrove, tak pernah habis meskipun diambil setiap hari. 44 hektar hutan mangrove sudah bebas dikelola oleh warga. Perhutani hanya mengelola 29 hektar.

Karena kerja keras Slaman, ia mendapatkan anugerah Kalpataru dari Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2016 lalu. Banyak penelitian yang dilakukan di desanya dari beberapa perguruan tinggi. Termasuk, kopi mangrove kreasi Slaman dan anggota Pokmas Sabuk Hijau.

"Sayangi laut maka engkau akan mendapat kehidupan dari laut,"  ujar Slaman menirukan pesan ayahnya. 

https://regional.kompas.com/read/2018/09/24/10360951/slaman-monster-laut-penjaga-mangrove

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke