Salin Artikel

Mencari Mata Air Berusia Ratusan Tahun yang Hilang di Hutan Grobogan

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, 82 desa yang ada di 12 kecamatan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mengalami krisis air bersih akibat kemarau. Tercatat, permintaan droping air bersih dari puluhan desa itu sudah berlangsung sejak awal Juni.

Seperti halnya warga Desa Jambangan di wilayah Kecamatan Geyer, Grobogan. Hampir empat bulan ini debit air sungai setempat menyusut dan mengering. Sumur-sumur tadah hujan yang mayoritas dimiliki warga juga tamat tak ada tampungan air. Kekeringan juga mengakibatkan permukaan tanah desa retak-retak dan gersang.

Saat kemarau, sekitar 3.500 jiwa warga Desa Jambangan hanya mengandalkan droping air bantuan dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Terlebih lagi, instalasi program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang terealisasi sejak 2008 gagal beroperasi karena kesulitan mengidentifikasi sumber mata air.

Kemarau menjadi puncak krisis air yang menjadi agenda rutin tahunan warga desa di kaki perbukitan kendeng selatan itu. 

Sumber air warisan leluhur

Kekeringan tak berujung yang suram bagi warga ini memicu naluri tokoh masyarakat setempat untuk berburu sumber mata air. Mereka pun bersepakat mencari sumber mata air peninggalan lelulur yang diyakini masih bersemayam di bawah permukaan tanah.

Ratusan tahun silam, warga setempat mengandalkan sendang yang konon tak pernah mengering itu untuk mencukupi kebutuhan air. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, sumber air jernih berlimpah itu perlahan terkubur oleh rimbunnya hutan.

Minggu (16/9/2018) pagi, Jiyo (48) bersama belasan warga termasuk perwakilan petugas Perhutani berjalan kaki menembus kawasan hutan yang membungkus perbukitan kendeng selatan. Selama ini, Jiyo, warga Kecamatan Geyer, itu dikenal sebagai "pawang sumber air" oleh masyarakat desa setempat.

Setelah menempuh jarak sekitar 2 kilometer dengan melintasi jamaknya pepohonan besar berbagai jenis itu langkah Jiyo mendadak terhenti. Tangan Jiyo menunjuk ke arah satu titik lokasi "Seresah".

Seresah yaitu istilah untuk sampah-sampah organik yang berupa tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan yang sudah mengering dan berubah dari warna aslinya. Serasah kebanyakan memiliki senyawa berbasis karbon. Serasah yang telah membusuk berubah menjadi humus (bunga tanah) dan akhirnya menjadi tanah.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, Jiyo dan belasan warga selanjutnya menggali tanah di lokasi yang masuk wilayah Kecamatan Toroh itu hingga kedalaman sekitar 2 meter.

Letak penggalian sumber air di petak 72 RPH Genengsari, BKPH Kuncen, KPH Gundih, itu tak jauh dengan instalasi Pamsimas yang mangkrak.

Upaya warga mencari sumber air ternyata tidak sia-sia, di kedalaman itu muncul aliran air jernih yang terus mengalir deras. Jiyo dan tokoh masyarakat lain pun langsung mengamini bahwa muncratan air itu berasal dari sendang peninggalan leluhurnya yang selama ini lenyap tertimbun hutan.

Setelah beberapa saat, warga kemudian langsung menciptakan sumur buatan ala kadarnya yang selanjutnya debit air itu dialirkan menggunakan pipa instalasi Pamsimas yang mangkrak ke permukiman warga Desa Jambangan.

Penemuan sumber mata air ini adalah kabar gembira yang dinanti-nanti oleh warga. Sumber air harapan dan sandaran warga akhirnya berhasil ditemukan.

"Alhamdulilah akhirnya ketemu. Inilah sendang kehidupan nenek moyang kami yang hilang. Ratusan tahun silam, leluhur kami tidak pernah kekurangan air dengan keberadaan sendang ini. Selama kelestarian hutan di perbukitan kendeng terus terjaga, sumber air tak pernah mati sekalipun kemarau," terang tokoh masyarakat Desa Jambangan, Rinkahat (56) yang juga diamini tokoh masyarakat lain termasuk Jiyo.

Menurut Rinkahat, secara turun temurun sesepuh desanya telah berpesan jika suatu ketika masyarakat mengalami krisis air, carilah sendang berusia ratusan tahun warisan leluhurnya itu di perbukitan kendeng selatan.

"Sudah saatnya kami mencari keberadaan sendang ini karena masyarakat krisis air. Pasokan air di sumber air ini tak akan surut dan bisa mencukupi kebutuhan ribuan warga. Sumber air ini adalah sendang berusia ratusan tahun yang ditemukan leluhur kami," sambung Rinkahat.

Perangkat Desa Jambangan, Agus Riyanto, mengatakan, sumber mata air yang ditemukan oleh warga ini langsung dialirkan menggunakan pipa instalasi Pamsimas yang sudah tak berfungsi itu menuju permukiman Desa Jambangan. Dalam beberapa bulan ini warga Desa Jambangan sudah kelimpungan karena krisis air. Desa Jambangan adalah lokasi terdekat dengan sumber mata air yang ditemukan. Berjarak sekitar 1 kilometer dari sumber mata air.

"Jadi yang ditemukan Pamsimas itu hanya rembesan bukan mata air. Makanya akhirnya mangkrak sejak 2008. Dan, yang kami temukan ini adalah sumber mata air. Debit air ini bisa untuk mencukupi 3.500 warga Desa Jambangan. Ini adalah jawaban yang membantah daerah kami minim sumber air. Air kami alirkan ke sumur-sumur yang telah mengering. Sumber air ini sudah dinanti-nanti warga yang mengalami krisis air," kata Agus.

40 persen hutan

Wakil Administratur KPH Gundih, Kuspriyadi, meyampaikan, sumber air yang ditemukan warga itu berada di kawasan hutan Perhutani yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS), salah satunya perlindungan sumber air. Kawasan hutan tersebut setidaknya terus terjaga kelestariannya hingga saat ini melalui peran masyarakat juga.

Hutan, kata dia, memiliki kemampuan sebagai regulator air. Dengan kata lain hutan mampu mengatur, menyokong proses alami dan menyediakan air bersih apabila dibiarkan tetap alami. Hutan mampu menyimpan air di musim hujan ketika ketersediaan air berlimpah. Pun demikian hutan juga mampu melepaskan air saat musim kemarau, saat di mana ketersediaan air minim.

"Hutan menjadi satu hal yang sangat vital terhadap persediaan atau pasokan air bersih bagi manusia. Ia mampu menyaring dan membersihkan air lebih baik dan lebih murah daripada sistem yang diciptakan oleh manusia. Sebanyak 40 persen Kabupaten Grobogan adalah kawasan hutan dengan luas sekitar 70.000 lebih hektar. Selama kelestarian hutan dijaga, sumber air pasti berlimpah. Silakan dimanfaatkan untuk keperluan warga dan ini kabar baik untuk pemerintah," jelas Kuspriyadi.

Kuspriyadi menambahkan, di kawasan hutan wilayah KPH Gundih tercatat ada sekitar 30-an sendang berkapasitas air melimpah yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga setempat.

"Sendang-sendang berkapasitas besar muncul di kawasan hutan yang lestari. Di Grobogan ada banyak sendang di kawasan hutan. Di wilayah KPH Gundih saja ada 30 an sendang. Untuk di lokasi Desa Jambangan ini masih diteliti kandungan airnya," pungkasnya.

Pamsimas gagal

Selama ini, program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dinilai belum efektif untuk membantu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat wilayah pelosok di Grobogan.

Salah satu penyebab kegagalan itu yakni sumber air tanah. Hal itu merujuk pada riset geologi yang menyebut wilayah Kabupaten Grobogan adalah kawasan yang minim pasokan air tanah.

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Grobogan, M Chanif mengatakan, di Kabupaten Grobogan tercatat ada 273 desa dari 19 kecamatan.

Adapun program Pamsimas yang berlangsung sejak 2008 sudah berjalan di 150-an desa di Grobogan.

Melalui Pamsimas sudah terealisasi sumur, tandon, jaringan, dan sambungan (satu paket instalasi pamsimas) di setiap desa. Satu paket Pamsimas dianggarkan Rp 300 juta.

"Namun karena minimnya sumber air tanah, masih banyak desa yang tak terjangkau Pamsimas. Bahkan saat ini 20 persen mangkrak karena sumber air tanahnya habis," tutur kata Chanif kepada Kompas.com.

https://regional.kompas.com/read/2018/09/16/16494051/mencari-mata-air-berusia-ratusan-tahun-yang-hilang-di-hutan-grobogan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke