Salin Artikel

Ketika Perajin Tahu Harus Beradu Cepat dengan Dollar AS

Akibatnya, perajin memperkecil ukuran tahu. Namun jika kondisinya tidak membaik, mereka akan segera menaikkan harga tahu.

Salah seorang perajin tahu di Dusun Sumbermulyo, Desa Kepek, Wonosari, Sakiyo mengatakan, harga kedelai impor sebagai bahan baku tahu terus melambung tinggi. 

"Dua bulan lalu perkilogramnya masih Rp 6.800 perkilogramnya itu sudah tinggi banget, biasanya Rp 6.500. Sekarang Rp 7.400 perkilogramnya, kenaikan terus terjadi," ujar Sakiyo, Kamis (6/9/2018).

Sakiyo menjelaskan, sebanyak 17 perajin tahu di daerahnya menghabiskan 4,5 ton kedelai impor setiap harinya.

Hal ini sangat menyulitkan, apalagi bisnis tahu mengalami pasang surut. Tidak hanya sekarang, tapi sejak masa orangtuanya sekitar tahun 1965.

Pasang surut yang dirasakan paling berat, saat harga kedelai yang menjadi bahan baku, terus naik.

"Dulu 1,5 tahun lalu sempat naik jadi Rp 8.200 perkilogramnya. Tetapi hanya beberapa hari, setelah itu turun menjadi Rp 6.500," ucapnya.

Bersama belasan produsen lainnya, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi untuk menaikkan harga tahu. Kenaikan yang diusulkan Rp 3.000 per papannya. 

Sejak kenaikan harga kedelai, setiap satu ton kedelai yang dijadikan tahu, pihaknya mengalami penurunan omzet sebesar Rp 1 juta.

"Sementara dikecilkan dulu, kalau dulu satu papan ada 25 tahu sekarang jadi 35. Untuk kenaikan harga menunggu rapat dengan perajin lainnya," tuturnya.

Menurut dia, kualitas kedelai lokal lebih baik dibanding kedelai impor yang berasal dari Amerika. Namun sampai saat ini, pemerintah belum mendorong pemenuhan kedelai lokal.

"Kalau ini (kedelai impor) didiamkan, 1 sampai 1,5 bulan, sari patinya akan berkurang. Berbeda dengan lokal yang masih baik. Tetapi hasil panen di sini dibeli saja hanya beberapa hari sudah habis," ujarnya.

Bagi dirinya dan puluhan pembuat tahu, bulan ini merupakan bulan paling sulit. Sebab di samping harga kedelai meningkat, harga kayu bakar juga meningkat, ditambah solar sulit didapat.

"Semoga pemerintah bisa menstabilkan harga kedelai, jangan sampai terus melambung," ucapnya.

Perajin lainnya, Agung Gunawan mengaku, omzetnya menurun karena banyaknya masyarakat yang sedang hajatan.

"Harganya belum dinaikkan, menunggu kesepakatan bersama dulu. Semoga harga kedelai segera stabil sehingga tidak perlu menaikkan harga," bebernya.

Salah seorang pedagang makanan, Bayu mengatakan, rata-rata setiap malamnya menjual puluhan tahu dan tempe goreng.

Sejak beberapa hari terakhir, harga tempe tetap tetap, namun ukurannya lebih kecil.

"Tempe sekarang ukurannya lebih kecil, mungkin karena kedelai mahal. Saya beli tahu dipasar awalnya Rp 1.000 mendapatkan 3 potong, sebelumnya 4 potong. Kalau tempe Rp 2.500 perlonjor, tetapi lebih kecil ukurannya," ucapnya.

Enggan Menanam Kedelai

Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul, Raharjo Yuwono mengatakan, pemerintah terus mendorong peningkatan produksi kedelai lokal.

Salah satunya dengan mendorong luasan lahan pertanian kedelai. Pada 2017, luas lahannya 3.000 hektar. Namun tahun ini diperluas menjadi 5.000 hektar.

"Untuk produksi kedelai tahun ini mencapai 6.000 ton," bebernya.

Raharjo mengaku, di Gunung Kidul, tidak sepanjang tahun menanam kedelai. Saat musim kemarau, hanya sekitar 200 hektar.

"Puncak panen kedelai pada Juni sampai Juli. Kalau bulan seperti ini hanya sedikit petani yang menanam, seperti di Kecamatan Patuk dan Nglipar," ucapnya.

Rahajo mengatakan, minat petani menanam kedelai lokal tergolong rendah dibanding wilayah lainnya.

"Petani di sini minatnya kurang menanam kedelai dibanding dengan tanaman lainnya, seperti kacang tanah, karena lebih murah dan mudah," pungkasnya.

Pemerintah sendiri terus mendorong agar para petani mau menanam kedelai salah satunya dengan memudahkan memperoleh bibit dan pupuk. 

https://regional.kompas.com/read/2018/09/06/18443721/ketika-perajin-tahu-harus-beradu-cepat-dengan-dollar-as

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke