Salin Artikel

Cerita Sumiyo Bertahan di Puing-puing Penggusuran...

Warga Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo, Yogyakarta ini masih bertahan di sekitar puing rumahnya yang berada di dalam kawasan pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Ia melakoni pekerjaannya seperti hari-hari biasa. Kebetulan, Minggu (22/7/2018) ini, ia baru panen padi.

Sumiyo pun menggelar terpal di antara puing dan menghampar gabah di sana agar kering.

Sesekali Sumiyo mengais di antara puing untuk mendapatkan genteng yang masih bagus dan mencari perabot yang bisa diselamatkan.

Sumiyo juga mencoba memperbaiki sumur yang tidak ikut luluh lantak digusur.

"Saya tetap berjuang di sini, di tanah milik orangtua," kata Sumiyo.

Pemerintah mengebut pembangunan NYIA.

Pembangunannya terkendala 36 kepala keluarga yang bertahan dan menempati rumah-rumah di lahan Izin Penetapan Lokasi (IPL) NYIA.

PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Pembangunan Perumahan (PP) berupaya memindahkan mereka ke rumah relokasi sementara berupa rumah sewa.

Upaya relokasi berlangsung pada Kamis (19/7/2018) dan Jumat (20/7/2018) lalu dengan melibatkan ratusan personel gabungan TNI/Polri, Satpol PP, dan puluhan relawan.

Rumah-rumah warga itu pun digusur, tak terkecuali rumah yang ditempati Sumiyo.

Sumiyo sempat melakukan perlawanan ketika penggusuran berlangsung.

Sumiyo tidur ditemani sentir atau lampu kaleng berisi minyak di sekitar puing rumahnya selama 3 malam belakang ini.

"Menjaga rumah saya, biar tidak ada apa-apa. Banyak barang di sana, seperti kusen yang berharga," ujarnya. 

"Tidur di sini saja, tidak pakai (tenda)," tambah dia seraya menunjuk tanah kebun yang berpasir dan berdebu.

Di sekitaran tempatnya tidur, ada tumpukan kayu, pipa paralon, dan setengah karung buah melinjo yang sudah merah.

Sumiyo menceritakan, kehidupannya berubah drastis karena kehadiran pembangunan NYIA.

Ia yang berprofesi sebagai petani pernah mengalami kejayaan hasil panen cabai, terong, kacang, dan buah. Penghasilannya dapat memberi kenyamanan hidup.

"Penghasilan Rp 7 juta tiap panen. Rumah ini juga dari hasil panen cabai," kata Sumiyo.

Pasca-proyek pembangunan bandara, panen pun berkurang banyak. Ia yang dulu memiliki lahan dan buruh tani, sekarang tidak memiliki penghasilan tetap.

"Dulu punya buruh, sekarang jadi buruh tukang," kata Sumiyo.

Warga bangun tenda

Sumiyo bukan satu-satunya warga yang bertahan.

Mantan Kepala Dukuh Sidorejo, Desa Glagah, Sutrisno mengatakan, beberapa keluarga membangun tenda di rumahnya.

Mereka menempati lahan kosong di antara lumbung beras dan rumah induk, meletakkan dipan, tikar, perabot rumah tangga, hingga kusen di sana.

Mereka meletakkan tumpukan buku pelajaran sampai puluhan buah kelapa di sana. Mereka juga menjadikan rumah itu sebagai dapur umum.

Tenda pengungsian dan dapur umum mulai dibangun dan ditempati Minggu ini.

"Sekitar enam kepala keluarga di sini (rumah Sutrisno)," kata Sutrisno.

Kepala Desa Glagah Agus Parmono mengatakan, hampir seluruh warga tergusur masih bertahan di sana.

Mereka tersebar di beberapa titik berkumpul.

Menurut Agus, sebanyak 17 KK asal Glagah tidak menerima relokasi sementara ke rumah sewa.

Mereka tersebar di masjid, rumah mantan kepala dukuh Sutrisno, tenda-tenda, maupun kerabat dekat.

"Ada yang barangnya ke rusunawa, tetapi orangnya bertahan di sini," kata Agus.

https://regional.kompas.com/read/2018/07/22/21505111/cerita-sumiyo-bertahan-di-puing-puing-penggusuran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke