Salin Artikel

Kisah Polisi Gorontalo yang Berdakwah di Samping Mobil SIM Keliling

Ia mengingatkan warga Gorontalo yang sudah terbiasa menyebut bapak dengan istilah sebe dan ibu dengan kata ajus.

“Sebe itu setan besar, tak lain adalah iblis. Sementara ajus kepanjangan dari ajudan setan,” ujarnya nyaring di bawah pohon trembesi raksasa di taman kota, Kota Gorontalo, Selasa (5/6/2018).

Beberapa wanita muda yang mendengarkan terhenyak dan serius menatap polisi asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu.

Sementara seorang pria paruh baya dari pinggir kerumunan mengiyakan ucapan Fahmi.

Sukarno, lelaki yang akrab disapa pak guru dengan mimik serius meminta warga menyudahi panggilan sebe dan ajus untuk orangtua yang membesarkan anak-anaknya.

“Mari hentikan penggilan sebe dan ajus untuk orangtua kita. Apa yang dibilang pak polisi ini benar,” ujar Sukarno.

Bangun Peradaban Bangsa

Imbauan kebaikan dari Fahmi ini tidak dilakukan di atas mimbar atau dalam majelis di masjid. Ia berdiri dengan seragam polisi di samping mobil pelayanan SIM Keliling.

Bahkan ia tak membawa ayat-ayat suci Al-Qur’an saat menyerukan perubahan sikap warga agar berperilaku lebih santun kepada orangtua.

“Kata sebe dan ajus sudah sangat lazim digunakan masyarakat untuk menyebut orangtua mereka. Saya hanya mengingatkan untuk berbuat mulia kepada orangtua. Ini juga nasihat untuk diri saya,” kata Fahmi.

Masyarakat yang duduk dan berdiri berkerumun di sekitar mobil pelayanan mulai paham asal kata sebe dan ajus dari penjelasan Fahmi ini.

Sambil  menanti atrean perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) A dan C, warga mendapatkan pencerahan agama dari polisi yang ramah ini.

Ia melakukannya dengan sukarela, tidak ada tambahan gaji atau honor yang didapat dari pemberian ceramah tersebut.

Fahmi hanya yakin, kebaikan sekecil apapun tetaplah kebaikan dan ada timbangannya. Ia juga berprinsip tidak menunggu ilmu lengkap untuk menyampaikan kebaikan.

Berangkat dari semangat untuk saling mengingatkan, Fahmi berpedoman pada ungkapan Rasulullah, sampaikanlah (kebenaran) walau satu ayat.

Inilah yang mendorongnya untuk melakukannya di depan puluhan orang yang mengantre di samping mobil SIM Keliling ini.

Saat antrean pelayanan perpanjangan SIM berganti orang, Fahmi pun tak kehabisan bahan dialog.

Matahari yang  terus meninggi tak menyurutkan aksinya menyapa warga kota Gorontalo dengan nasihat Ramadhannya.

Adab buang air sesuai tuntunan Nabi Muhammad pun mengisi topik berikutnya.

Tak hanya suara lantangnya yang didengar para pengantre, tingkahnya saat mempraktikkan pun ia peragakan di depan masyarakat.

Warga semakin antusias, persoalan buang air adalah kebiasaan sehari-hari yang dianggap sepele namun memiliki tata cara seperti yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW.

“Kami hanya berbagi pengalaman dan ilmu yang tak banyak ini,” ujar Fahmi merendah.

Fahmi juga mengajak warga Gorontalo untuk mencintai kebudayaannya. Sebutan sebe dan ajus bukan kata yang berasal dari budaya Gorontalo, namun sangat cepat menyebar di masyarakat, termasuk kepada anak-anak kecil.

“Budaya Gorontalo sangat menjunjung tinggi sopan santun, mari gunakan nilai-nilai luhur ini untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik,” ajak Fahmi.

Tantangan

Tidak jarang ia harus merogoh koceknya untuk dijadikan hadiah bagi warga yang mampu menjawab teka-tekinya.

Pertanyaannya singkat, namun membuat puyeng warga Gorontalo yang ada di taman kota ini.

“Di Gorontalo tidak ada harimau sehingga tidak ada istilah lokal untuk kata harimau. Olobu untuk kerbau, wadala adalah kuda dan batade berarti kambing, semua hewan ini ada di Gorontalo sejak bumi diciptakan. Demikian juga sapi, nah sekarang apa bahasa Gorontalonya sapi?” kata Fahmi serius.

Untuk warga yang mampu menjawab pertanyaan tersebut, Fahmi akan memberi hadiah Rp 200.000 dan gratis mengurus perpanjangan SIM.

Warga yang hadir senyap, mereka asyik mencari-cari ingatan masa lalu untuk padanan kata sapi dalam bahasa Gorontalo.

Hening sesaat, angin siang yang terik berembus panas seakan mengejek betapa kita sering mengabaikan bahasa daerah, dan membanggakan istilah asing untuk percakapan sehari-hari.

Tak satupun warga menjawab, mereka tidak tahu kata sapi untuk bahasa lokal Gorontalo.

Tantangan Fahmi ini pun tak mampu dijawab. Sama dengan pertanyaan pertamanya, apa bahasa Gorontalo untuk kata terima kasih.

“Terima kasih bukan oduolo, itu arti kata terima. Bahasa aslinya adalah topiwasu, ini kata yang sudah jarang digunakan di masyarakat. Mari lestarikan bahasa daerah,” ajak Fahmi.

Bulan Ramadhan yang penuh berkah dijadikan ladang menyemai kebaikan, saling mengingatkan dan berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) oleh Fahmi. Ia akan terus mengajak warga berbuat baik.

Mendengar ajakan Fahmi ini, warga semakin enak berlama-lama dalam antrean pengurusan perpanjangan SIM.

Mereka seakan diingatkan untuk kembali melihat kebudayaannya sendiri. Selama ini kehidupan berbahasa berjalan seakan tanpa masalah.

Tak hanya teka-teki, Fahmi juga memaparkan betapa pentingnya pewarisan nilai luhur melalui bahasa daerah kepada anak-anak.

Karena anak-anak yang akan meneruskan kehidupan dan membawa nilai dan kekayaan budaya kepada generasi baru, demikian kehidupan terus bergulir.

Fungsi Bahasa

Ia sadar, bahasa daerah tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga mengandung nilai luhur yang menjadi karakter masyarakat.

Bahasa sangat memengaruhi perilaku pribadi, pada setiap generasi baru bahasa lokal sebagai bahasa ibu adalah yang pertama dikenal.

“Penutur Bahasa Suwawa atau Bonedaa tinggal sedikit, itupun kebnayakan generasi tua. Saatnya kita melestarikan bahasa daerah,” kata Fahmi.

Fahmi yakin karakter individu sangat dipengaruhi oleh kemampuan menyerap nilai dari bahasa ibu.

Penguasaan bahasa daerah ini akan membangun karakter yang baik. Masyarakat berkewajiban merawat dan mempertahankan nilai kebaikan ini.

“Kalau mau dianggap maju harusnya menggunakan bahasa daerah dalam keseharian, bukan mendewakan istilah-istilah asing agar kita dianggap modern,” ujar Fahmi.

Ia prihatin dalam percakapan sehari-hari, makian telah menjadi bahasa yang sangat umum, bahkan menjadi pembuka sebuah tegur sapa.

Sambil memberikan contoh kata-kata makian yang sering dianggap biasa, Fahmi mengajak untuk kembali menggunakan bahasa yang baik, melestarikan bahasa daerah.

“Ini menarik, saya berterima kasih kepada Pak Fahmi yang telah mengingatkan kembali,” kata Abdul Kadir, warga Kota Gorontalo.

Bagi Fahmi, bekerja di Direktorat Lalu Lintas Polda Gorontalo memberi peluang untuk mengenal masyarakat yang berbeda setiap hari. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi kenalan yang akrab.

Perjumpaan dengan warga inilah yang dijadikan sarana untuk berbagi, saling menasihati dan berlomba dalam kebaikan setiap saat, terutama di bulan Ramadhan ini.

Aiptu Ramdan Fahmi yang tak malu menggunakan sarung di ruang publik ini adalah suami dari Nancy Samiden, seorang perawat di Pusat Kesehatahn Masyarakat Hulonthalangi, Kota Gorontalo.

Pasangan ini dikarunia 3 anak. Anak tertua, M Fahrunsyah (16) dan adiknya kembar, M Fauzan dan Nazmi Fauziyah (14). Keluarga ini tinggal di perumahan di Kelurahan Dembe Jaya, Kota Gorontalo.

https://regional.kompas.com/read/2018/06/06/06210041/kisah-polisi-gorontalo-yang-berdakwah-di-samping-mobil-sim-keliling

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke