Salin Artikel

Tradisi "Selikuran" di Masjid Kuno di Kaki Gunung Sumbing Magelang

Seperti terlihat pada Selasa (5/6/2018), ratusan warga sudah memadati masjid di kaki Gunung Sumbing ini sejak siang.

Mereka hendak mengikuti selikuran, yakni tradisi beriktikaf setiap malam tanggal 21 bulan Ramadhan.

Tidak ada yang tahu sejak kapan tradisi ini dimulai. Masyarakat hanya tahu tradisi ini ada secara turun temurun di masjid kuno ini hingga sekarang. Hal ini diungkapkan sesepuh Desa Trasan Thoyib (91).

"Sejak saya kecil sudah ada (tradisi selikuran) ini, setiap malam tanggal 21 Ramadhan, warga banyak yang datang untuk iktikaf di sini," kata Thoyib, Selasa (5/6/2018).

Warga yang datang tidak hanya dari desa setempat, akan tetapi juga luar kota. Tidak heran jika jemaah membeludak sampai halaman masjid, jalanan sampai rumah-rumah warga di sekitarnya.

Menurut Thoyib, tradisi selikuran dilakukan untuk menyambut lailatul qadar atau malam penuh berkah dan memiliki faedah jauh lebih baik dari ibadah seribu bulan sehingga masyarakat berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah.

"Dahulu tidak sebanyak ini jemaahnya, semakin lama semakin banyak yang iktikaf di masjid ini," katanya.

Tradisi ini pun dimanfaatkan warga sekitarnya untuk mencoba peruntungan dengan menjual beragam kebutuhan jemaah, mulai dari pakaian, mukena, sarung, tasbih, aksesoris, makanan, minuman dan sebagainya.

Para pedagang ini pun tidak hanya datang berjualan akan tetapi juga ikut beribadah dan berharap berkah dari tradisi selikuran ini. Meraka rela tidak tidur hingga esok hari.

Masjid kuno

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, masjid Jami Baitul Muttaqin diperkirakan sudah ada sejak sekitar tahun 1773 masehi. Masjid yang didominasi warna hijau ini diyakini menjadi masjid tertua ketiga di Magelang setelah Masjid Agung Kauman Kota Magelang dan Masjid Agung Payaman Kabupaten Magelang.

"Karena masjid ini kuno dan unik yang jadi daya tarik warga untuk datang ke sini," ucap Thoyib dalam Bahasa Jawa.

Masjid ini memang terlihat sederhana dibanding masjid era sekarang. Menggunakan gaya arsitektur dan bahan bangunan yang hampir sama dengan Masjid Agung Payaman dan Masjid Agung Kauman Kota Magelang.

"Masjid Jami Trasan ini memiliki luas bangunan 15x15 meter dengan seluruh kayunya menggunakan kayu jati," imbuh Thoyib.

Ciri khas masjid ini terletak pada pemakaian 16 sokoguru atau tiang penyangga masjid. Hal ini berbeda dengan masjid lainnya yang biasanya hanya memiliki empat tiang. Empat tiang di tengah merupakan sokoguru dengan tinggi 7-8 meter dan 12 tiang lain sekitar 2,5 meter.

Tiang-tiang tersebut berdiri dengan pola tertentu sehingga membentuk semacam ruangan atau bilik. Setiap "bilik" memiliki nama tersendiri. Masyarakat meyakini setiap bilik mempunyai manfaat masing-masing. Bahkan konon ada "bilik" tempat berdoa untuk meraih jabatan tertentu.

Pola dan rangkaian kayu jati ini membuat bentuk Masjid Jami Trasan menyerupai bentuk kapal kayu raksasa. Konon nama Desa Trasan ini sendiri mengandung makna terusan Demak.

"Nama Trasan bisa diartikan kalau masjid ini dipengaruhi oleh masjid di Demak, dari gaya artistekturnya dan lainnya," ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/06/05/22434431/tradisi-selikuran-di-masjid-kuno-di-kaki-gunung-sumbing-magelang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke