Salin Artikel

Cerita Ustaz Mustain Menangis Terharu Saat Pertama Kali Santrinya Lulus Sekolah Negeri

Setelah tugasnya selesai, kedua santri tersebut izin kepada ustadnya ke dapur untuk meneruskan memasak menu buka puasa.

"Di sini, para santri masak sendiri secara bergantian. Masak sayur atau apapun yang ada. Sekarang mereka persiapan berbuka puasa," kata Mustain, Sabtu (26/5/2018).

Lalu, lelaki pengasuh pondok pesantren Nurul Anwar Arrabi tersebut mengajak melihat bangunan guthekan yang digunakan untuk para santri menginap.

Satu guthekan kecil berisi dua sampai tiga santri. Total ada lima guthekan yang ada di pondok pesantren sederhana yang ada di bawah kaki Gunung Ijen, tepatnya di Dusun Gadog, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

"Guthekan ini sebenarnya sudah kuno. Dulu kalo mondok ya tinggal di tempat kaya gini. Bukan asrama. Saya nggak kuat kalo harus buat asrama. Dananya enggak ada," katanya sambil tersenyum.

Saat ini, hanya ada 13 santri putra dan 5 santri putri yang tinggal di pondok pesantren yang telah didirikannya sejak tahun 2000 lalu.

Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, Ustaz Mustain juga mendirikan MTs Arrabi pada tahun 2011 lalu. Lokasi bangunan sekolah setingkat SMP tersebut berada di satu lingkungan Pondok Pesantren Nurul Anwar.

Hanya lulus SD

Ustaz Mustain bercerita, keputusannya untuk mendirikan MTs Arrabi berawal dari banyaknya anak-anak di sekitar pondok pesantrennya yang tidak melanjutkan sekolah ke SMP setelah lulus SD karena alasan biaya dan sekolah yang jauh dari rumah.

"Dulu lulus SD ya sudah selesai sekolah. Jarang ada yang melanjutkan sekolah. Alasannya jauh karena tidak ada kendaraan umum lewat dusun ini. Jalannya juga dulu rusak parah. Akhirnya dengan niat demi pendidikan anak-anak sini saya beranikan diri untuk buat Mts," katanya.

Bapak tiga anak tersebut mengaku, tidak ingin nasib anak-anak di desanya seperti dirinya yang hanya menyelesaikan sekolah formal sampai lulus SD.

Walaupun sempat mengenyam bangku SMP selama setahun, Mustain muda harus putus sekolah karena orang tuanya tidak bisa membiayai sekolahnya.

"Padahal saat itu saya sedang semangat-semangatnya bersekolah. Rasanya pupus harapan. Sedih luar biasa. Setengah tahun saya nganggur dan menangis kalau ada teman sekolah. Hingga akhirnya saya mondok pada tahun 1988 hingga 1999 lalu kembali ke sini mendirikan pesantren," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Saat pertama kali mendirikan MTs tahun 2011, muridnya hanya 15 orang dan yang berhasil lulus hanya lima orang. Yang lain berhenti karena bekerja dan menikah.

Bersambung ke halaman dua: Tangis haru saat santri pertama lulus sekolah negeri

 

Hingga tahun 2017, jumlah siswa yang berhasil lulus tidak sampai 50 orang. Saat ini siswa yang sekolah di MTs Arrabi sebanyak 29 orang dari kelas 1 hingga kelas 3 MTs dengan pengajar 10 guru relawan.

"Saya menyebut para guru relawan karena kami masih belum bisa menggaji penuh. Satu gugus sekolah, MTs kami yang jumlah muridnya paling sedikit. Tapi saya bertahan agar anak-anak sini tetap bisa sekolah. Saya juga selalu membesarkan hati mereka bahwa mereka sama dengan murid lain yang ada di kota," ucapnya.

Pernah suatu kali, Ustaz Mustain mengantarkan salah satu muridnya untuk mendaftar di SMK negeri jurusan pelayaran. Dia mengaku sempat tidak percaya diri saat masuk ke aula dan bertemu banyak orang.

Saat itu, dia berpesan kepada muridnya, apapun hasilnya harus diterima karena yang tepenting mereka sudah berusaha agar bisa meneruskan ke sekolah negeri.

"Saat tahu nama murid saya untuk pertama kalinya ada di daftar nama siswa yang diterima sekolah negeri, saya langsung menangis haru. Saya enggak nyangka. Murid saya dari desa, dari Mts kecil swasta bisa masuk ke sekolah negeri favorit. Saat saya telepon orangtuanya, mereka juga ikut terharu. Sekarang dia sudah kelas 2 di SMK negeri jurusan pelayaran," ungkap Ustaz Mustain sambil mengusap air matanya.

Peristiwa tersebut sangat membekas bagi Ustaz Mustain Marwan untuk pertama kalinya siswa lulusannya masuk sekolah negeri.

Walaupun jumlah santri dan muridnya tidak sebanyak sekolah lain, Ustaz Mustain mengaku sangat bersyukur karena bisa membantu anak-anak sekitarnya agar tetap bisa bersekolah.

"Semoga nanti bisa mendirikan Madrasah Aliyah agar santri enggak perlu jauh-jauh sekolahnya. Saya tidak bisa membayangkan mereka tidak bersekolah karena alasan biaya," ungkapnya.

Sementara itu, Mardiono, salah satu santri di Pondok Pesantren Nurul Anwar mengaku bersyukur bisa mondok sekaligus melanjutkan sekolah di MTs Arrabi.

Menurut dia, jika harus sekolah di kota, orangtuanya tidak sanggup untuk membiayai karena ongkos transportasinya mahal.

"Orangtua enggak ada kendaraan juga enggak ada angkot jadi ya mondok disini saja sekalian sekolah," tutur siswa kelas 8 tersebut.

Berbeda dengan Mardiono, Asnain mengaku walaupun sudah lulus MTs dia tetap mondok karena orangtuanya tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah ke SMA.

"Saya lulus tahun kemarin 2017 tapi enggak lanjut sekolah SMA karena nggak ada biaya. Jauh juga dari rumah. Tapi nggak apa-apa mondok disini dulu belajar agama. Siapa tahu ada rejeki nanti buat melanjutkan sekolah ke SMA," tuturnya.


https://regional.kompas.com/read/2018/05/27/08102811/cerita-ustaz-mustain-menangis-terharu-saat-pertama-kali-santrinya-lulus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke