Salin Artikel

Mengenal Masjid Tertua di Sulawesi Selatan, Akulturasi Budaya Minang-Bugis

Masjid ini terletak di Desa Tana Rigella, Kecamatan Bua. Masjid ini dibangun tahun 1594 masehi yang merupakan tonggak sejarah peradaban Islam di Sulawesi Selatan. Bahkan masjid ini pernah dibakar oleh tentara NICA pada zaman penjajahan.  

Masjid Jami Bua memiliki kekentalan budaya Minangkabau, Sumatera Barat dengan suku Bugis Sulawesi Selatan. Tak heran jika kekentalan budayanya tampak pada arsitektur bangunan Masjid, karena masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Luwu, dibawa oleh seorang khatib asal Minang, yakni Datok Sulaiman, pada abad ke-15 Masehi.

Menurut budayawan dan sekaligus pemangku adat Maddika Bua, Andi Syaifuddin Kaddiraja, arsitektur Masjid Jami Bua sangat mirip dengan Minangkabau, Sumatera Barat.

“Arsitekturnya sangat mirip dengan Minangkabau, karena pembawa Islam pertama di Luwu ini asalnya dari Minangkabau, yaitu Datok Sulaiman bersama dua rekannya, yakni Datok Ditiro dan Datok Ribandang,” jelas Andi Syaifuddin Kaddiraja, Kamis (24/5/2018).      

Di Luwu, Agama Islam pertama kali diterima oleh Datu (Raja) Luwu bernama La Patiware pada abad yang sama dan dilanjutkan oleh putranya bernama Pati Pasaung dengan nama Islamnya adalah Sultan Abdullah.   

Struktur bangunan

Masjid Jami Bua,  memiliki kubah segi empat,  berbalut cat warna putih dan hijau dengan menara di sisi kiri masjid.  

“Struktur bangunan secara keseluruhan terdiri dari tiga susun, mengikuti konsep rumah panggung.  Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya  seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun,” lanjut Andi Syaifuddin.

Selain itu, masjid ini memiliki lima kubah atau bahasa setempat disebut Coppo'. Tiga di antaranya adalah kubah utama dan sisanya kubah kecil. Jumlah lima Coppo’ ini menandakan hubungan manusia dan keesaan Allah.

“Sebelum Islam masuk mempengaruhi masyarakat di tana Luwu, manusia meyakini adanya 4 kesempurnaan dalam dirinya. Namun setelah Islam mengajarkan kesempurnaan, maka manusia meyakini bahwa empat tak cukup tanpa lima, yaitu keesaan Sang Pencipta melalui roh manusia,” tambahnya.

Sejak didirikan tahun 1.594 Masehi, masjid ini telah banyak mengalami perubahan. Selain karena usianya yang sudah tua, masjid ini pernah dirusak dan dibakar tentara NICA. Peristiwa itu terjadi pada 23 Januari 1956 dan memicu kemarahan rakyat Luwu.

Kendati demikian, masih ada sisa-sisa keasilan masjid ini, yakni ada sebuah bangunan kecil di belakang masjid berukuran panjang 3 meter, lebar 2 meter dan tinggi 2 meter berbentuk terowongan.

Bangunan tersebut hingga saat ini belum diketahui kegunaannya.   

Masjid ini setiap saat dikunjungi sebagai tempat beribadah rutin warga sekitar, terutama pada Bulan Ramadhan, seperti untuk shalat tarawih, tadarus, dan kuliah subuh.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/24/19252291/mengenal-masjid-tertua-di-sulawesi-selatan-akulturasi-budaya-minang-bugis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke