Salin Artikel

Kerinduan Jemaah Ahmadiyah Ramadhan di Rumah Sendiri

Mereka akan pergi ke tempat pengungsian di Gedung Loka Latihan Kerja (LLK) Gelang, Kota Selong Lombok Timur. Setelah rumah mereka di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, dihancurkan. 

"Mereka sudah kita pindahkan ke gedung Loka Latihan Kerja di Selong, agar fasilitas yang mereka dapatkan lebih baik serta aman," ujar AKBP M Eka Faturrahman, Selasa (22/5/2018).

Saat ini, sambung Eka, pihaknya mengutamakan keselamatan jemaah Ahmadiyah lebih dahulu. Setelah itu baru menangani kasus perusakan rumah mereka. 

Bukan Pilihan

Mengungsi bukanlah pilihan jemaah Ahmadiyah dari tiga Dusun di Desa Gereneng.

Tapi mereka tidak punya pilihan setelah rumah mereka menjadi sasaran amuk massa lantaran dianggap menyebarkan ajaran Ahmadiyah. Namun jemaah Ahmadiyah menyanggah tuduhan itu.

Kini, sebanyak 8 kepala keluarga di antaranya 12 anak-anak tak bisa lagi merasakan hangatnya suasana Ramadhan di rumah sendiri. 

"Mereka anak-anak kami terpaksa ujian akhir semester (UAS) di pengungsian, tak apa asalkan pendidikan jalan terus," kata Edi Sucipto, salah seorang jemaah Ahmadiyah.

Edi Sucipto merupakan satu dari 8 kepala keluarga yang terpaksa mengungsi, karena aksi perusakan rumah oleh massa, yang dilakukan Sabtu (19/5/2018) hingga Minggu (20/5/2018) pagi.

"Saya hanya membawa baju yang melekat di badan. Semua terjadi begitu cepat. Kami hanya ingin selamat, anak-anak dan perempuan syukurlah tak ada yang terluka, semua selamat," ungkapnya sambil menghela napas

"Kami tak ada masalah selama ini, kami warga asli Dusun Gerepek, lahir dan besar di sana, semua aturan desa kami jalani dan taati, tapi memang ada yang membenci kami," lanjutnya.

Edi dan warga lainnya mengatakan, perusakan bermula dari jemaah Ahmadiyah mengajari anak-anak Dusun Gerepek, iqro'. Warga menyerahkan anak-anak mereka untuk mengaji.

"Masalahnya adalah karena ada seorang anak yang mangadu dipukul kawannya. Dari masalah kecil itu, ada pihak yang memperkeruh situasi dan menganggap kami menyebarkan ajaran Ahmadiyah. Padahal kami hanya mengajar anak-anak iqro" tutur Jasman.

Jasman kemudian menceritakan detik-detik rumahnya dihancurkan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana massa memecahkan kaca jendela, atap dihancurkan, tembok rumah dijebol hingga nyaris roboh.

"Kami dak mau anak-anak melihat rumah mereka dihancurkan. Kami bawa mereka pergi, sementara saat itu aparat belum tiba," katanya.

Saat Jasman bercerita, anak-anak terlihat berlarian di hadapannya. Lantas mereka berlarian menuju televisi yang memutar gambar-gambar rumah mereka. 

Sejumlah ibu yang mengedong balitanya, berkaca-kaca saat menyaksikan gambar tayangan berita di salah satu stasiun tv nasional itu.

Anak-anak kemudian berteriak menunjuk rumah mereka tanpa tahu itu sebuah peristiwa menyakitkan.

Mereka kembali berlari dan membicarakan beberapa bagian tembok rumah mereka yang jebol, termasuk buku-buku pelajaran yang tertinggal di atas kasur.

"Mereka hanya anak-anak, dak tahu apa apa," kata seorang jemaah Ahmadiyah tertegun.

Menuju rumah jemaah Ahmadiyah memang tidak sulit. Jalanan berdebu menjadi pemandangan menuju Desa Gereneng ini.

Kepadatan mulai nampak di Dusun Gerepek. Di sana terdapat 5 rumah yang hancur atau rusak parah. Bata berserakan, kasur hancur, antena parabola milik jemaah Ahmadiyah tumbang.

Terlihat pula sepda roda tiga rusak dan sebuah boneka beruang kecil berwarna krem yang sobek di bagian tangannya.

"Saya kaget begitu pulang kerja semua hancur. Rumah tetangga saya habis," ujar Rudi, warga Dusun Gerepek, yang rumahnya persis di samping lima rumah yang hancur itu.

Ia mengaku tidak ada ketika kejadian berlangsung. Pekerjaannya sebagai tukang service elektro membuatnya sering ke luar kampung. 

"Saya tak disini saat kejadian, bagaimana saya bisa tahu siapa yang merusak. Salah nanti kalau kita sebut karena tak melihat langsung," katanya menolak bercerita lebih dalam soal keseharian jemaah Ahmadiyah yang berbaur dengan mereka selama puluhan tahun.

Sebagai tetangga, Rudi mengaku tak pernah ada masalah. Anak-anaknya juga belajar iqro' pada jemaah Ahmadiyah.

Selain di Dusun Gerepek, satu rumah di Dusun Penimbung, milik Amaq Hus alias Ismail, turut dihancurkan. Tak ada barang yang bisa diselamatkan dari rumah itu.

Muslihatun, sang tetangga mendekat menceritakan kebaikan Ismail selama ini sebagai tetangga. Namun sayang saat kejadian dia tengah berada di luar desa.

"Baik dia pak, anak saya teman main anak keluarga ini, kami tak ada masalah. Kalau dari cerita yang lain, yang merusak rumah-rumah mereka orang dari desa ini juga tidak ada orang luar," katanya.

"Tapi kan kita dak bisa bicara, karena tidak lihat langsung. Saya hanya takut mereka membakar, karena rumah saya berdekatan dengan rumah yang dirusak," kata Muslihatun.

Selain rumah, 4 unit sepeda motor juga dibakar warga dalam insiden itu. Bangkai motor mereka dibuang ke sungai.

Senin (21/5/2018) pagi, Gubernur NTB Zainul Majdi mendadak ke lokasi perusakan. Ia melihat langsung kondisi rumah warga Ahmadiyah yang dihancurkan.

Gubernur didampingi Penjabat Bupati Lombok Timur, Ahsanul Khaliq, dan pihak terkait lainnya berdialog dengan warga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, untuk mencari tahu penyebab perusakan tersebut.

Beberapa kali Majdi mengingatkan agar warga tidak menggunakan cara-cara kekerasan jika ada perbedaan keyakinan.

"Jika mereka tidak menyebarkan kita dak boleh melarang mereka. Kalau mereka menyebarkan ada aturan hukum yang akan menjerat mereka," ucapnya.

"Karena menyebarkan ajaran Ahmadiyah dilarang, ada aturannya SKB 3 Menteri tahun 2008" jelas Majdi pada warga.

Saat menyampaikan nasihat di Masjid Kampung, agar tidak merusak dan menerima kembali jemaah Ahmadiyah, warga menolak. Mereka belum bersedia menerima kehadiran jemaah Ahmadiyah kembali ke kampung halaman mereka.

Mempertemukan langsung perwakilan warga dengan jemaah Ahmadiyah bukan hal mudah. Kasus perusakan pernah terjadi tahun 2006. Setelah itu, tidak pernah terjadi apapun sampai akhir pekan lalu. 

Mediasi yang dilakukan di Makodim 1615 Lombok Timur Senin lalu berlangsung alot dan tak ada titik temu.

Tokoh agama Desa Gereneng bersikukuh tak mau menerima jemaah Ahmadiyah kembali ke kampung halaman mereka.

"Kami sudah memfasilitasi bersama Dandim 1615 Lombok Timur, Letkol inf Agus Setiandar memediasi warga dan jemaah Ahmadiyah tetapi masih belum ada titik temu," kata Ahsanul Khaliq, Penjabat Bupati Lombok Timur.

"(Mereka) sama-sama bersikukuh memegang idiologi mereka. Tetapi kita akan lakukan mediasi kembali untuk mencari solusi," tambahnya.

Ahsanul sendiri tak bisa nemastikan sampai kapan jemaah Ahmadiyah berada di pengungsian.

"Tentu sampai situasi benar-benar aman dan warga setempat bersedia menerima mereka dengan jaminan mereka tak akan menyebarkan paham mereka. Kalau ditanya sampai kapan mereka akan mengungsi, kita tidak tahu sampai kapan," ungkapnya.

Janji Pemerintah

Meski kecewa akan buntunya mediasi yang menghambat mereka pulang ke kampung halaman, setidaknya jemaah Ahmadiyah merasa mendapatkan harapan baru.

Harapan itu muncul saat Gubernur NTB berjanji akan memperbaiki rumah-rumah mereka. Hanya saja tak ada kepastian kapan itu terlaksana karena situasi masih belum memungkinkan.

Delapan kepala keluarga jemaah Ahmadiyah ini berharap, janji pemerintah memperbaiki rumah mereka segera terwujud dan mereka bisa kembali ke kampung halaman.

Jemaah Ahmadiyah mengaku lahir dan hidup di Desa Gereneng dan bukan merupakan pendatang yang harus diusir dan ditolak kembali ke rumah mereka.

Mereka juga membantah telah melanggar perjanjian mengikuti ajaran Islam sesuai yang dianut warga setempat.

Namun warga Desa Gereneng menuding mereka melanggar perjanjian tertanggal 18 april 2017 yang mereka tandatangani.

Perjanjian itu berisi tiga poin, yakni tidak boleh menyebarkan ajaran Ahmadiyah, harus mengikuti ajaran Islam seperti yang dijalankan warga setempat, dan jika melanggar perjanjian siap dituntut secara hukum.

Perjanjian itu dibuat berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tahun 2008 tentang Larangan Ajaran Ahmadiyah.

Edi Sucipto, jemaah Ahmadiyah membantah telah melanggar surat perjanjian mereka dengan warga. Dia mengaku mengikuti semua adat istiadat dan ajaran Islam yang dianut warga setempat.

"Tak ada yang kami langgar, adar istiadat dan kebiasaan warga kami ikuti, melayat, ikut pemakaman, semua kami hadiri," bantahnya.

Meskipun harapan untuk pulang sulit tercapai karena warga enggan menerima mereka pulang, jemaah Ahmadiyah berharap dan berdoa di bulan Ramadhan untuk bisa pulang dan merasakan puasa dan lebaran nanti di rumah mereka sendiri.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/23/12520291/kerinduan-jemaah-ahmadiyah-ramadhan-di-rumah-sendiri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke