Salin Artikel

Tutik, Korban Bom Gereja Pantekosta Surabaya, Sosok Pekerja Keras yang Dermawan

Sebagai seorang perempuan yang tangguh, Tutik sudah biasa bekerja keras. Menjadi seorang sopir bus malam hingga sopir taksi sudah pernah dilakoninya.

"Almarhumah itu mantan sopir bus malam dan taksi di Surabaya. Jadi kalau di terminal itu sudah kayak cowok begitu," ujar Tri Nuryani (57), kerabat korban kepada wartawan di sela pemakaman Sri Pudjiastuti di Tempat Pemakaman Umum Bonoloyo, Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (15/5/2018) siang.

Sebelum merantau di Surabaya, kata Tri, Tutik sempat tinggal bersama keluarga ibu kandungnya. Namun tak berapa lama kemudian, Tutik yang pernah menikah itu memilih hidup mandiri mencari rejeki di kota pahlawan.

Meski tak memiliki pekerjaan tetap, Tutik tak lupa diri bila mendapatkan rejeki banyak. Setelah terkumpul uang hasil kerja kerasnya, Tutik memilih pulang ke Solo untuk menemui saudara dan keponakannya.

"Kalau ada rejeki banyak, almarhum ingin segera pulang ke Solo untuk memberikan uang kepada saudara-saudaranya yang tidak mampu di Solo. Jadi orangnya itu pemurah dan dermawan," ungkap Tri.

Tinggalkan Pesan

Kedekatan Tutik dengan keluarga di Solo menjadikan almarhumah selalu ingin balik ke kota kelahiran Presiden Jokowi bila terjadi apa-apa pada dirinya. Bahkan sebelum peristiwa nahas menimpa Tutik, ia sering menelepon keluarga di Solo dan meninggalkan satu pesan khusus.

"Sebelum meninggal, almarhumah sering menelpon di keluarga Solo. Tutik selalu berpesan kalau terjadi apa-apa minta dibawa ke Solo," jelas Tri.

Tak hanya itu, Tutik juga berpesan kalau meninggal ingin didandani yang cantik. Menurut rekan satu gerejanya, Tutik didandani cantik dan mengenakan kebaya.

Meski hidup mandiri, lanjut Tri, Tutik jarang mengeluh sakit. Tubuh Tutik yang kuat dan segar hingga banyak membuat orang salah sangka tentang umurnya.

"Umurnya hampir 70 tahun tapi tidak terlihat seperti perempuan berumur seperti itu. Energik sekali dia," jelas Tri.

Tri menambahkan saat muda, rupanya Tutik, adik kandung ibunya itu menjadi atlet sepeda di Kota Solo. Ia masih mengingat saat Tutik berlatih melaju mengayu sepeda di Stadion Sriwedari Solo. 

Kabar meninggalnya Tutik, diterima keluarga usai pulang menghadiri pesta pernikahan. Setiba di rumah, Tri mendapati pesan di handphone-nya yang mengabarkan Tutik menjadi korban bom di Surabaya.

Mendapatkan kabar buruk itu, Tri langsung menuju Surabaya. Nahas, setibanya di Mojokerto, Tri mendapatkan informasi, Tutik sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Surabaya.

"Biasanya dia tidak duduk di teras usai misa. Biasanya wira-wiri menawarkan jualannya. Dia saat itu duduk sama temannya. Tiba-tiba dari arah depan datang rombongan teroris dan meledakkan bomnya," tandas Tri.

Akibat letusan bom itu, Tutik mengalami luka bakar hampir pada sekujur tubuhnya. Diagnosa dokter menyebutkan luka bakar pada tubuh Tutik mencapai 95 persen. "Dokter sempat melakukan operasi untuk mengambil serpihan akibat bos yang mengena pada dada dan mukanya. Namun pukul 12 malam, almarhumah sudah meninggal dunia," jelas Tri.

Tutik dan Vespanya Terbakar Pasca Bom Meledak

Bagi rekan-rekan satu gereja, Tutik merupakan sosok yang menyenangkan. Lantaran keterbukaan sikap dan suka bercanda, Tutik memiliki banyak teman.

"Orangnya baik. Temannya juga banyak. Suka bercanda dan bicara apa adanya," kata Sri Purwanti, rekan satu gereja yang mengikuti pemakaman di TPU Bonoloyo, Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Selasa ( 15 / 5 / 2018) siang.

Kedekatan Tutik dengan banyak orang ditunjukkan banyaknya jemaat gereja yang ikut mengantar jenazah hingga ke Solo meski jauh jaraknya. Sekitar 50-an jemaat Gereja Pantekosta Pusat Surabaya mencarter bus mengantar jenazah Tutik ke Kota Solo.

"Semua jemaat gereja sangat menyayangi almarhumah. Tadi satu bus berisi 50-an jemaat gereja ikut datang kesini mengantar jenazah Tutik," jelas Sri.

Sri menceritakan saat peristiwa nahas melanda Tutik, dirinya tidak berada di lokasi. Saat itu ia hendak berangkat ke gereja mengikuti misa kedua tetapi tidak diizinkan suaminya. "Suami saya melarang karena gereja kami dibom," jelas Sri.

Beberapa hari sebelum bom meledak di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Sri sempat berkunjung ke rumah Tutik. Bahkan dirinya sempat santap malam bersama Tutik. "Tutik bilang hari ini dia mau ke Tulung Agung," kata Sri.

Informasi dari rekan-rekannya, sebelum bom menghantam Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Tutik duduk di teras gereja. Tutik datang ke gereja naik skuter kesayangannya.

Saat itu, Tutik duduk di teras menunggu misa kedua. Pasalnya misa pertama sementara berlangsung didalam gereja. Tak lama kemudian, rombongan teroris datang meledakan bom hingga mengakibatkan Tutik mengalami luka bakar yang serius. "Skuter miliknya juga ikut terbakar," ungkap Sri.

Kesehariannya, Tutik tinggal di Patemon, Gang II, Kelurahan Sawahan, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Di rumah itu, Tutik tinggal sebatangkara.

Rekan satu gereja almarhumah Sri Pudjiastuti memegang foto korban di lokasi pemakaman korban bom teroris Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di TPU Bonoloyo, Kadipiro, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (15/5/2018) siang.

Rekan dan keluarga mengusung peti mati berisi jenazah almarhumah Sri Pudjiastuti untuk dikebumikan di TPU Bonoloyo, Kadipiro, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (15/5/2018) siang.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/16/08032431/tutik-korban-bom-gereja-pantekosta-surabaya-sosok-pekerja-keras-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke