Salin Artikel

Antara Ganjar, Sudirman, dan KPK di Pilkada Jateng

KABAR santer majunya Gubernur DKI Anies Baswedan sebagai calon pendamping Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres tahun depan membuat pesta politik daerah serentak 2018 meredup. Namun, bagi saya, Pemilihan Gubernur Jawa Tengah tetap menentukan soliditas pasangan Prabowo-Anies.

Mengapa Pilkada Jateng? 

Pertama, jumlah suara yang diperebutkan tidak sedikit, sekitar 20 juta suara. Tahun lalu di Jateng, Joko Widodo (Jokowi) meraup hampir 13 juta suara, dua kali lipat dari perolehan Prabowo.   

Kedua, kemenangan di Jateng yang selama ini dikenal sebagai Kandang Banteng merupakan modal moral bagi pemenangan di wilayah lain. Sejak Pemilu digelar secara langsung, tidak sekalipun PDI-P kalah di Jateng.  

Kondisi ini membuat dua kandidat yang bertarung di Jateng, Ganjar Pranowo maupun Sudirman Said beserta pasangan dan partai pendukung masing-masing bekerja keras menggalang dukungan massa di basis pemilih suara mereka.

Sebagai petahana, cagub Jateng Ganjar Pranowo didampingi cawagub Taj Yasin fokus pada kantong masyarakat yang telah menikmati sejumlah program yang telah berjalan sembari berusaha meyakinkan para pemilik suara yang masih ragu menentukan pilihan pada Ganjar.

Sementara, Sudirman Said dan Ida Fauziyah sebagai penantang menggunakan counter narasi untuk mendelegitimasi keberhasilan petahana, sekaligus menawarkan harapan baru bagi masyarakat yang belum puas terhadap kinerja petahana.

Di balik kerja keras kedua pihak, terdapat hal menarik. Ganjar bergerak menggunakan jejaring di masa kampanye 2013, termasuk tim sukses komunikasinya yang merupakan rekan lama di Universitas Gadjah Mada. Boleh saya katakan, tim komunikasi Ganjar sudah sangat solid.  

Satu contoh dalam hal tagline yang digunakan pun tak aneh-aneh amat, bahkan cenderung repetisi dari kampanye Pilgub 2013 yaitu ‘Mboten Korupsi lan Mboten Ngapusi’ sebagai representasi kepemimpinan Ganjar yang bersih, terbuka dan tidak membohongi rakyat.

Untuk Pilgub 2018, dengan modal tiga penghargaan sebagai pemerintah daerah dengan tingkat kepatuhan LHKPN dari KPK, Ganjar memilih hanya menambahkan kata ‘Tetep’ atau ‘Tetap’ pada jargon lamanya menjadi ‘Tetep, Mboten Korupsi lan Mboten Ngapusi’

Bagaimana dengan Sudirman Said?

Untuk bertarung di Jateng digunakannya jejaring kampus mini, Paramadina. Ada nama Mohamad Sohibul Iman (Ketum PKS) dan Anies Baswedan yang merupakan penggantinya setelah mengundurkan diri dari posisi pejabat Rektor. Itu belum termasuk Sandiaga Uno yang merupakan pengurus Yayasan.

Di luar lingkaran Paramadina, terdapat Eep Saefulloh Fatah yang menjadi perantara bagi Anies Baswedan ketika baru datang dari Amerika Serikat untuk bergabung dengan lembaga The Indonesian Institute. Eep adalah pendiri lembaga survei Polmark yang sukses memenangkan Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta.

Sebagai tim yang tidak berasal dari Jawa Tengah, pilihan mantra kampanye Sudirman pun cukup beragam. Saya mencatat terdapat jargon ‘Ngancani, Ngladeni, Ngayomi’ (menemani, melayani, mengayomi) dan ‘Mbangun Jateng Mukti Bareng’ (Membangun Jateng Bersama).

Mungkin kurang cukup, itu masih ditambah tagline usulan Sandiaga Uno yaitu ‘Ayo Obah’ (Mari Bergerak) yang merupakan replikasi program One Kecamatan One Center of Enterpreneurship (OK OCE) di DKI yang hingga kini belum konkret terealisasi.

Ketegasan KPK

Di luar adu jargon ala pemandu sorak, tentu saja terdapat upaya mendelegitimasi yang dilakukan kedua belah pihak. Apakah hal tersebut merupakan upaya kampanye negatif? Saya rasa sah dan wajar saja untuk dilakukan.

Kampanye negatif sah dilakukan selama sebatas pengungkapan fakta yang disampaikan secara jujur dan relevan menyangkut kekurangan suatu calon atau partai. Ini jelas berbeda dengan kampanye hitam yang berisi tuduhan, fitnah atau opini ngibul sekaligus ngawur yang cenderung merusak demokrasi.

Dalam koridor pemilu sebagai ritus politik demokrasi sebagai langkah untuk melakukan berbagai perubahan melalui jalan konstitusional, berbagai strategi sah saja dilakukan. Toh, terdapat wasit dalam pertarungan Pilkada yakni Panwaslu yang memiliki jejaring Panitia Pengawas Lapangan (PPL).  

Yang akan mengganggu ketika itu dilakukan dengan melibatkan aktor lain. Salah satu aktor yang saya rasa akan sangat menentukan dalam Pilkada Jateng tak lain adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini bekerja keras menuntaskan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Hal ini tak lepas dari kesaksian dua orang di bawah sumpah pengadilan yang menyatakan keterlibatan Ganjar Pranowo yakni Muhammad Nazaruddin dan Setya Novanto. Keduanya menuding Ganjar yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua Komisi II DPR menerima aliran suap.

Tudingan tersebut memang telah dibantah terdakwa kasus korupsi e-KTP, Andi Narogong meski demikian akan selalu digunakan untuk mendelegitimasi citra Ganjar di masa kampanye. Pertanyaannya apakah KPK harus bersikap tegas dalam dalam posisi serupa di masa Pilkada?

Kita tentu belum lupa dua tahun lalu ketika Kepala KPK Agus Rahardjo menyatakan "tidak menemukan perbuatan melawan hukum" dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras di Jakarta Barat oleh pemerintah Jakarta yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Pendapat KPK tegas, meski melawan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Ketidaktegasan KPK dalam hal status Ganjar menurut saya merepotkan kedua cagub yang bertarung di Jateng. Bagi Ganjar isu e-KTP yang tak kunjung tuntas berpotensi mengikis citra dirinya yang memiliki jargon ‘Mboten Korupsi’ (Tidak Korupsi).

Sementara bagi Sudirman Said yang memiliki track record bersih pun buru-buru meminta agar masyarakat Jateng tidak kemudian memvonis Ganjar salah.

Mengapa Sudirman Said sigap merespon isu e-KTP? Saya melihat keengganannya untuk dibenturkan dengan KPK.

Dalam hal ketidaktegasan KPK, akan sangat berpeluang dikoreknya sejarah keterlibatan Sudirman dalam pembentukan KPK yang sedikit banyak diinisasi oleh Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dibentuk Sudirman dengan sejumlah pihak. Misi MTI adalah mendorong pemberantasan korupsi.

Ketika MTI diungkit, akan muncul kisah ketika Sudirman menjadi Deputi Bidang Komunikasi, Informasi, dan Hubungan Kelembagaan di Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias yang sempat berseteru dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) di bawah kepemimpinan Teten Masduki.

Saat itu ICW menemukan pemilihan langsung PT Emerson Asia Pacific sebagai konsultan media dan PT Semar Kembar Sakti sebagai kontraktor pembangunan kantor BRR di Aceh. Ketika ditelusuri ICW, pemilik dua perusahaan adalah suami istri yang terhubung dengan organisasi bentukan Sudirman Said.

Bahwa kemudian kasus BRR yang menyangkut Sudirman terlupakan seiring oleh sang waktu, di masa politik yang kompetitif, seperti halnya kasus e-KTP yang mengganggu Ganjar bukan tidak mungkin akan digunakan untuk saling menjegal. Sehingga ada baiknya KPK lebih aktif dan tegas memberikan klarifikasi terhadap status hukum para petarung Pilkada.

https://regional.kompas.com/read/2018/03/29/06030021/antara-ganjar-sudirman-dan-kpk-di-pilkada-jateng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke