Salin Artikel

Cerita Rumah Baca Sangkrah Mengubah Stigma Kampung Preman

Beberapa warga setempat bersama Dany Setyawan, seorang pegiat sosial membuat rumah baca untuk memberikan pencerahan bagi warga di wilayah perkampungan yang tinggi jumlah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah.

Bukan tanpa alasan. Kondisi perkampungan kota yang terletak di bantaran Kali Pepe ini, mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat miskin kota dan berpendidikan rendah. Kondisi kemiskinan yang dialami membuat orang tua menuntut anak-anak mereka untuk bekerja selepas lulus SMA.

Konsekuensinya, anak-anak lulusan SMA yang tidak memiliki keahlian yang cukup mengakibatkan ketidak siapan para remajanya memasuki dunia kerja. Akibatnya mereka sering berpindah pindah pekerjaan dan bahkan ada yang berhenti bekerja.  

"Banyaknya pengangguran di kampung Dadapsari Sangkrah Solo mengakibatkan remaja mengenal alkohol, terlibat dalam kenakalan remaja, perjudian. Bahkan ada beberapa pemuda terlibat dengan tindakan tindakan kriminalitas seperti pencurian, perampokan, penjambretan, narkoba," kata Pembina Rumah Baca Sangkrah, Danny Setyawan (42) kepada Kompas.com, Jumat (16/3/2018) siang.

Kabar terakhir kata Danny, di kampung itu ada warganya menjadi salah satu buronan paling dicari oleh kepolisian Indonesia karena terlibat aksi terorisme jaringan internasional, Bahrun Naim.

Danny menceritakan sebelum mendirikan rumah baca, awalnya ia diminta warga setempat untuk membuat perpustakaan. Lalu ia menyarankan untuk dibuat rumah baca saja agar tidak terkesan formal. "Apalagi kampung di sini dikenal stigma hitam sangat kuat sekali semacam kampung preman," kata Danny.

Pos ronda berukuran 1,5 meter x 2,5 meter kemudian direnovasi secara swadaya dan membangun rak rak buku untuk perpustakaan kampung. Niat baik para pemuda setempat membangun rumah baca mendapatkan respons dari berbagai pihak.

Dibantu beberapa relawan dari luar kampung, para pemuda memaksimalkan aksi postif itu dengan menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Hasilnya, netizen yang membacanya, tergerak membantu dengan mengirim bantuan buku baca dari seluruh Indonesia. "Dan akhirnya rumah baca itu secara resmi dibuka terhitung sejak 17 Januari 2014 silam," kata Danny.

Di awal pergerakannya sebut dia, rumah baca fokus pada penggalian dan pengembangan potensi, bakat dan minat dari usia 5 tahun hingga usia 35 tahun. Untuk usia anak anak, rumah baca menitik beratkan kepada penggalian potensi, bakat, minat dan pembentukan karakter serta mentalitas.

Sementara untuk usia remaja, rumah baca menitik beratkan kepada pengembangan potensi, bakat, minat, karakter, pola pikir dan mental dengan penitik beratan kepada life skill.

Untuk melakukan kegiatan itu, ruangan seluas 1,5 meter x 2,5 meter jelas tidak memadai. Mereka lalu menggunakan tempat bahu jalan dan Sekolah Dasar Negeri Dadapsari Solo untuk melakukan berbagai kegiatan hingga akhir tahun 2015. "Tetapi kalau musim penghujan tiba seluruh kegiatan yang dilakukan oleh rumah baca terpaksa harus dihentikan," ungkap Danny.

Kebutuhan akan ruang untuk program pemberdayaan, awal Februari 2016, dengan bantuan beberapa teman rumah baca menyewa sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 20 juta setahunnya. "Rumah itu sampai sekarang digunakan untuk berbagai kegiatan pemberdayaan warga," jelas Danny.

Kesuksesan rumah baca menyulap warga di kampung preman menjadi usahawan menarik dan menginspirasi banyak orang. Kelompok atau perorangan dari berbagai penjuru kota di Indonesia datang untuk belajar apa yang telah dilakukan oleh Rumah Baca Sangkrah.

"Beberapa akademisi baik mahasiswa dan dosen juga telah banyak mengadakan penelitian di rumah baca. Tahun 2016 sekitar seratus orang lebih dari jaringan mahasiswa sosiologi se Jawa Bali mengadakan kunjungan dan belajar langsung ke Rumah Baca Sangkrah," jelas Danny.

Tak hanya itu, dua tahun lalu sekitar Juni 2016, Anies Baswedan yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan datang dan memberikan apresiasi bagi rumah baca. Pasalnya, ruang ruang publik seperti rumah baca saat ini sangat dibutuhkan untuk bisa hadir di tengah tengah masyarakat.

Koleksi 2000 buku hingga internet gratis

Setelah menjadi rumah baca yang layak, saat ini rumah baca Sangkrah memiliki koleksi buku hingga 2.000 buku lebih. Buku itu diperoleh secara swadaya dan bantuan dari penjuru kota di nusantara hingga beberapa kota di dunia.

"Buku buku yang kami peroleh tidak satu pun kami beli, seluruhnya murni bantuan kepedulian dari berbagai penjuru bangsa. Dari sekian koleksi buku ada beberapa buku sangat istimewa karena diberikan langsung oleh beberapa penulis besar Indonesia dan ditanda tangani langsung oleh sang penulis buku," kata Danny.

Tak hanya ribuan buku, saat ini di rumah baca Sangkrah sudah tersedia internet gratis, tv kabel, alat musik hingga mainan edukasi.

Ruang publik seluas 300 meter persegi digunakan aneka kegiatan literasi dan edukasi berupa mendongeng untuk anak, kelas inspirasi, belajar bahasa inggris, bimbingan belajar untuk siswa SD, edukasi politik pemilih pemula hingga workshop citizen jurnalisme. Selain itu, aneka program ekonomi seperti aksi sosial peduli bencana, bagi nasi bungkus, peduli bencana hingga pengobatan gratis.

Bagi Danny, kehadiran rumah baca bisa memberikan wadah bagi anak-anak dan remaja bisa tumbuh kembang baik. Sehingga mereka tidak masuk lagi lembah hitam.

"Apalagi secara ekonomi mereka menengah kebawah atau tidak mampu atau miskin urban. Kami ingin membangun pola pikir dan karakter. Untuk itu saya mencarikan konsultan bisnis hingga enterpreuner," ungkap Danny.

Danny menyebutkan saat sudah ada 15 pemuda binaannya yang memiliki keahlian siap pakai dalam bidang sablon, rias, pahat, gambar. Tak hanya dibekali keterampilan, anak asuhnya juga mendapatkan ilmu berwirausaha dan tetap peduli sesama. "Sebagai buktinya, hasil penjualan barang, sekitar 20 persen digunakan untuk kembali ke masyarakat dalam bentuk edukasi," kata Danny.

Sementara instruktur yang melatih rata-rata menyumbangkan ilmunya secara gratis. Hanya saja, bila membutuhkan alat, biasanya diambil dari 20 persen uang hasil penjualan barang.

Untuk karya yang dihasilkan, warga binaan Rumah Baca Sangkrah mampu menghasilkan karya yang sampai diekspor ke eropa. Salah satunya patung bebek yang berbahan bonggol atau akar bambu ori.  "Karya warga lainnya berupa kaos yang dipesan distro di kota Solo dan kota lain di Indonesia," kata Danny.

Danny berharap kehadiran rumah baca Sangkrah bisa menjadi contoh solusi persoalan sosial dan ekonomi di kampung -kampung pinggiran di Kota Solo. Selain itu, peran aktif pemerintah bisa ambil bagian seperti pendampingan dari Dinas Koperasi dan Disperindag. "Jadi pemerintah bisa bantu seperti alat produksi bukan uang fresh karena kami ajarkan agar anak tidak bermental kere," demikian Danny.

Sementara itu Handy Saputra (22), salah satu warga binaan mengaku mendapatkan perubahan positif yang dialaminya setelah bergabung dengan Rumah Baca Sangkrah.  "Banyak perubahan dari diri sendiri dari pola pikir. Saya akhirnya bisa mengasah keahlian saya di sini," kata Handy.

Handy setelah bergabung dengan Rumah Baca Sangkrah kini mahir dalam pengecatan air brush. Kini ia sudah bisa menerima orderan.  Tak hanya ingin maju sendiri, Handy juga mengajak teman-temannya yang putus sekolah.

"Saya coba gerakkan teman yang putus sekolah untuk sama-sama terjun ke dunia air brush. Dan syukur ada dua orang yang ikut bergabung. Saya ajak mereka daripada mereka tidak ada kegiatan di rumah sehingga terjeremus pergaulan bebas," ucap Handy.

https://regional.kompas.com/read/2018/03/18/08400051/cerita-rumah-baca-sangkrah-mengubah-stigma-kampung-preman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke