Salin Artikel

Kisah Penarik Perahu Tambang, Pahlawan Sungai Tuntang

Bagi para penduduk desa di wilayah timur Demak yang hendak bepergian ke wilayah perkotaan di seberang sungai, sangat tertolong dengan adanya sampan yang membawa mereka beserta barang bawaan.

Tanpa adanya alat transportasi air yang ada di dermaga penyeberangan itu, mereka harus memutar berkilo-kilometer untuk menuju wilayah perkotaan maupun jalur pantura Demak dengan berbagai tujuan.

Sampan berkapasitas 10 orang itu minimal memerlukan dua kru untuk mengoperasikannya.

Cara kerjanya sangat sederhana. Para penumpang yang rata-rata mengendarai sepeda motor ditata berjajar, kemudian "nakhoda" mulai beraksi dengan menarik tambang yang terbentang dari ujung sungai ke ujung lainnya.

Sementara "asisten nakhoda" bertugas menjaga keseimbangan dan menebarkan senyuman kepada para penumpang.

Para pengguna jasa sampan ini beragam usia hingga profesi, mulai dari anak sekolah, pekerja, pedagang, guru, karyawan, hingga pegawai kantoran.

Biasanya sambil menanti giliran terangkut sampan, para calon penumpang akan bersenda gurau atau hanya saling bertanya kabar.

Matahari belum beranjak jauh dari ufuk timur saat Kompas.com menyambangi dermaga yang membatasi Desa Karangsari, Kecamatan Karangtengah, dengan Desa Sumberejo, Kecamatan Bonang.

Terlihat antrean panjang calon penumpang sampan yang saat itu dioperasikan oleh sepasang suami istri, Solikudin (36) dan Musripah (32).

Warga Babadan, Kecamatan Bonang, itu sibuk mengatur para penumpang dan menjaga keseimbangan agar perahu tak oleng.

Sesekali sang istri harus menengok anak bungsunya, Qurotul Ain (5), yang berbaring di ujung sampan. Siswi taman kanak-kanak itu terus merengek dan terbatuk-batuk.

Penumpang penuh, keduanya lantas menarik tambang agar perahu bisa menyeberang.

"Orang sini bilang kalau pekerjaan yang kami lakukan namanya tambangan," kata Solikudin.

"Dulu saya cari mencawak, tidak ada kerjaan lain, sekarang kerja tambangan saja. Hitung-hitung membantu sesama. Warga kampung senang ada tambangan ini," ujar Solikudin kepada Kompas.com, Rabu (7/3/2018).

Solikudin tidak sendiri. Di sepanjang aliran Sungai Tuntang yang bermuara di pantai utara Jawa itu, sedikitnya ada 14 jasa tambangan seperti dirinya.

Selepas subuh, Solikudin bersama istrinya berangkat membuka jasa tambangan hingga pukul 22.00 WIB.

Tak ada tarif khusus untuk jasanya itu, setiap orang memberi ongkos Rp 1.000 - Rp 2.000 , terkadang juga ada yang tak memberi sama sekali.

"Tidak ada tarif-tarifan, seikhlasnya saja. Tidak memberi juga tidak apa-apa, saya niatnya membantu warga," ucapnya.

Dari usaha tambangannya itu, Solikudin mengaku hanya cukup untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anaknya, terutama anak sulungnya, Siti Rohmawati yang masih duduk di bangku SMP kelas III.

Hasil usaha jasanya itu tak menentu. Dalam sehari ia memperoleh uang Rp 75.000 - Rp 150.000, bahkan terkadang juga tidak mendapatkan hasil apa pun saat banjir datang.

"Pernah cuma dapat Rp 1.000 saja, ketika itu Sungai Tuntang meluap sehingga tidak ada yang berani menyeberang," tuturnya sembari mesem.

Para pelaku jasa tambangan merupakan pahlawan bagi mereka yang memanfaatkan jasa penyeberangan ini.

"Bapak ini (Solikudin) seperti pahlawan bagi kami. Ada tambangan ini, ke sekolah jadi lebih cepat," kata Fatmawati, siswi kelas XII SMA 1 Karangtengah.

Hal senada juga disampaikan oleh Nisa (20), buruh perusahaan kayu di Karangtengah, Demak. Dengan adanya jasa tambangan itu, perjalanan dari rumah ke tempatnya bekerja jadi lebih dekat.

"Kalau lewat jalan raya justru malah memutar dan jauh. Nyebrang dengan tambangan ini, kita bisa lewat jalan pintas dan lebih dekat ke pabrik," ujarnya.

Dengan membuka jasa tambangan ini, setidaknya Solikudin dan istrinya menjadi pahlawan bagi ratusan orang.

Terlebih lagi, jasa penyeberangan itu juga menjadi penghubung urat nadi ekonomi sejumlah desa di Kecamatan Karangtengah dan Bonang. 

https://regional.kompas.com/read/2018/03/14/11080771/kisah-penarik-perahu-tambang-pahlawan-sungai-tuntang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke