Salin Artikel

Dedi Mulyadi Pantau Mediasi Kasus Anak Gugat Ibu Kandung di PN Bandung

Dedi berharap ada titik temu pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Bandung yang telah masuk jalur mediasi antara penggugat dan tergugat.

“Saya melihat kalau hari ini tidak ada titik temu, saya akan temui pihak keluarga penggugat untuk diskusi mencari titik temu yang rasional,” kata Dedi di PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (6/3/2018).

Lebih lanjut Dedi menambahkan, proses persidangan dipastikan menyiksa batin dan pikiran Cicih yang usianya sudah renta. Untuk itu, Dedi mengaku akan mengawal kasus tersebut hingga tuntas dengan cara melakukan negosiasi kepada pihak penggugat.

“Kalau ditemukan ada angka nilainya sekian, daripada menyiksa batin ibunya, saya akan mengajak berbagai pihak untuk membantu. Saya yakin bakal selesai karena banyak yang memiliki empati,” tuturnya.

Dedi mengatakan, penyelesaian kasus anak gugat ibunya tidak perlu bertele-tele lagi. Dengan meminta bantuan dari berbagai pihak, dia berjanji akan membayar kerugian penggugat dengan nilai rasional.

“Tinggal hitung saja sisi aspek waris berapa yang dibagi. Yang penting hitung saja dulu objeknya. Daripada sidang-sidang terus, kasihan ibunya. Saya tidak akan kasih gratis, tapi tetap harus rasional,” tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, Cicih (78), warga Jalan Embah Jaksa, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, digugat empat anak kandungnya gara-gara menjual warisan almarhum suaminya yang telah dihibahkan kepadanya.

Keempat anak tersebut yakni Ai Sukmawati, Dede Rohayati, Ayi Rusbandi, dan AI Komariah. Adapun total gugatan terdiri atas gugatan materil Rp 670 juta yang terdiri dari harga bangunan senilai Rp 250 juta dan harga tanah Rp 5 juta per meter.

Untuk imateril, berupa kehilangan hak subjektif yaitu hak atas harta kekayaan, kehilangan kepastian hukum, dan kehormatan di masyarakat, yang dinominalkan sebesar Rp 1 miliar. Gugatan itu tercatat dalam Perkara Perdata Nomor: 18/PDT.G/2018/ PN BDG.

Kuasa Hukum Ibu Cici, Hotma Agus Sihombing menjelaskan, sebelum meninggal, almarhum suami Cicih, S Udin sudah membagikan harta kepada anaknya.

Harta tersebut berupa tanah dan bangunan di Jalan Embah Jaksa, No19 RT 01 RW 01, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Kemudian tanah dan kebun di Cilengkrang, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, dan sawah di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung.

Anak-anaknya tersebut diwarisi luas tanah dengan ukuran berbeda.

Ai Sukmawati sendiri mendapatkan sebidang tanah dan bangunan luas 1.070 m2, tanah dan kebun seluas 20 tumbak, dan sawah seluas 50 tumbak.

Untuk Dede Rohayati tanah dan Bangunan seluas 116,6 m2, tanah dan kebun seluas 116,6 m2, tanah dan kebun seluas 116,6 m2, dan sawah 50 tumbak.

Untuk Ayi Rusbandi, mendapatkan tanah dan bangunan seluas 342 m2 dan sawah 57 tumbak. Sementara Ai Komariah, mendapatkan tanah dan bangunan seluas 222,58 m2 dan sawah 50 tumbak.

"Nah setelah dikasih ke anaknya, rumah yang ditempati ibunya dihibahkan juga suaminya ke istrinya (Cicih)," jelasnya saat dihubungi, Selasa (20/2/2018).

Sementara Cicih mendapatkan hibah dari almarhum suaminya berupa tanah dan bangunan seluas 332 m2. Dalam akta hibah tersebut dijelaskan, ketika Cicih meninggal maka harta tersebut diberikan kepada anaknya, Alit (turut jadi tergugat).

Hotma mengungkapkan, selama ditinggalkan suaminya, Cicih tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan untuk menyambung hidupnya.

Sementara anak-anaknya tak pernah menengok atau memperhatikan ibunya. Sedangkan Cicih harus membiayai sekolah anak-anak yang menggugatnya tersebut.

Cicih pun terpaksa mengutang kepada tetangganya, yang seiring waktu utang tersebut semakin membengkak. Bahkan Cicih terpaksa menjual 91 meter persegi tanah dari 332 meter persegi hibah dari suaminya kepada orang lain dengan harga Rp 250 juta.

"Sampai hari ini masih ada anaknya penggugat dibiayai dan hidup dengan Bu Cicih. Bu Cicih ga punya uang. Ada sisa dan merasa ada hibah dari suaminya yang diberikan padanya untuk mempertahankan hidupnya karena ga dikasih anaknya. Bahkan Bu Cicih berutang ke tetangga untuk sambung hidup," jelasnya.

Menurutnya, uang hasil penjualan tanah milik Cicih tersebut bukan hanya untuk melunasi utang, tetapi juga untuk membangun sebuah kos-kosan anaknya dan biaya rehab rumah salah satu anaknya.

"Ada rumah milik penggugat dibangunkan oleh Bu Cicih, direhab untuk kos-kosan. Uang tersebut gak dimakan habis Bu Cicih. Atau untuk membiayai cucunya yang juga anaknya penggugat membiayai bu cicih. Bahkan Anak-anaknya penggugat hidup serumah," jelasnya.

Namun pengorbanannya ini mendapatkan tanggapan negatif dari anak-anaknya. Cicih dituding menjual tanpa sepengetahuan mereka dan menggugatnya.

"Intinya gini, kok tega-teganya anak kandung gugat ibu. Memang negara kita udah sakit, memangnya masyarakat enggak ada jalan lain," jelasnya.

Agus menuturkan, sidang siang tadi beragenda mediasi. Para penggugat akan mencabut laporannya dengan beberapa syarat perjanjian.

"Tadi mediasi. Usulan mereka (penggugat) minta batalkan perjanjian jual beli dengan harga Rp 910 juta, karena menurut versi penggugat semeter Rp 10 juta. Faktanya ngarang harga pasaran Rp 3 juta per meter. Jual beli enggak Rp 250 juta. Sementara yang Rp 138 juta habis dipakai membangun kos-kosan," katanya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat Tina Yulianti Gunawan meminta agar tidak melihat kasus tersebut dari sudut pandang gugatan yang dilakukan anak terhadap ibunya. Namun lihatlah dari perbuatan yang dilakukan tergugat (Cicih).

"Intinya jangan dilihat dari seorang anak yang mengajukan gugatan terhadap ibunya tapi perbuatannya. Tapi sekarang dalam posisi tahap mediasi, mudah-mudahan ada titik temu," jelasnya.

Ketika disinggung perbuatan yang dimaksud dalam kasus tersebut, Tina menjawab, tergugat Cicih menjual warisan tanpa sepengetahuan ahli waris. "Ada warisan yang dijual tanpa persetujuan ahli waris lain," tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/03/06/12510811/dedi-mulyadi-pantau-mediasi-kasus-anak-gugat-ibu-kandung-di-pn-bandung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke