Salin Artikel

"Lulus Sekolah", Elang Brontok Segera Kembali ke Alam

KULON PROGO, KOMPAS.com – Seekor elang brontok (Nisaetus cirrhatus) berkelamin jantan segera kembali ke alam. Berkat kerja sama multipihak, yaitu Badan Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, serta sejumlah organisasi lingkungan peduli satwa, elang itu akan dilepasliarkan ke Taman Hutan Rakyat Bunder di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Wira, begitu elang jantan dewasa ini dinamai. Pelepasliaran Wira rencananya berlangsung pada 25 Februari 2018.

“Rencananya akan ditinjau langsung oleh Dirjen KSDAE Ir Wiratno. Sekaligus soft launching kandang rehabilitasi kita yang baru di sana (Bunder),” kata Andie Chandra Herwanto, Pengendali Ekosistem BKSDA DIY, Rabu (21/2/2018).

BKSDA menerima elang brontok ini dari tangan warga pada 2013. Mereka kemudian menitipkan elang ke Wildlife Rescue Center (WRC) Yogyakarta yang berada di Wates, Kulonprogo. Sebagai salah satu lembaga konservasi, WRC memfasilitasi banyak satwa kembali ke alam.

Rosalia Setiawati dari Divisi Konservasi WRC mengatakan bahwa elang sudah berumur dewasa dan fisik sehat ketika masuk rehabilitasi. Namun, elang tampak agak jinak sehingga perlu banyak upaya untuk membangkitkan kembali insting sebagaimana satwa liar agar bisa kembali ke alam bebas pada saatnya nanti.

Elang ini mulai berlatih mengenal pakan-pakannya berupa mamalia kecil, seperti tikus, kadal, tokek, sesekali marmut, hingga tupai, di WRC.

“Kita memfasilitasi agar elang punya ketajaman insting dan perilaku liar sehingga siap kembali ke alam,” kata Rosalia.

Empat tahun "belajar", keahlian memangsanya mumpuni, serta kesehatan baik, elang brontok pun siap dilepasliarkan. FKH UGM bekerja sama dengan Profesor Martin Wikelski dari Max Planck Institute for Ornitology Jerman bekerja sama untuk memantau pasca-pelepasliaran ini. Oleh karenanya, mereka memanfaatkan satelite tracker yang dipasang pada elang itu.

Alat itu bekerja dengan cara mengirimkan data ketinggian jelajah, wilayah jelajah, kecepatan terbang, hingga suhu lingkungan. Persiapan pemasangan satelite tracker sendiri berlangsung di Selasa siang.

“Alat bekerja dengan cara mengirimkan data ke satelit, kemudian ke server, dan dapat diunduh melalui web tertentu. Alat ini menggunakan tenaga surya sehingga dapat bertahan lama dua sampai tiga tahun selama mendapatkan sinar matahari yang cukup,” kata Muhammad Tauhid Nursalim dari Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM.

Setelah pemasangan satelite tracking, elang brontok mesti melalui masa habituasi di kawasan Tahura Bunder. Habituasi merupakan tahap adaptasi elang pada calon lingkungan barunya.

Satelite tracker juga pernah dimanfaatkan pada pelepasliaran sebelumnya. Alat serupa pernah dipasang pada elang yang dilepasliarkan di Gunung Picis, Ponorogo, Jawa Timur.  

Elang brontok merupakan salah satu jenis elang yang dilindungi berdasar Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Perburuan liar

Meski tidak detail, Muhammad Tauhid Nursalim mengungkapkan data yang pernah dipublikasi sebuah yayasan konservasi elang, bahwa ratusan elang berbagai jenis diperjualbelikan melalui online selama 2017.

Ini menunjukkan perburuan liar elang telah berlangsung masif. “Elang itu membuat sarang di tempat yang ekstrem. Satwa ini dipantau, lalu diambil anaknya,” kata Tauhid.

Sayangnya, menurut Tauhid, penegakan hukum terhadap perdagangan satwa ini terbilang rendah. Ia mencontohkan, klub hobi yang menggunakan elang hidup sebagai pajangan, menjamur, termasuk di beberapa tempat di Yogyakarta.

“Masyarakat mungkin kurang pemahaman bahwa (burung) itu dilindungi. Banyak ditemui klub-klub (yang anggotanya bawa elang) di Malioboro. Mereka komunitas hobi untuk free hand elang. Mereka ini tidak tahu atau tidak mau tahu,” kata Tauhid.

Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta (PPBJ), Arif Alfauzi, mengatakan, pelepasliaran ini menegaskan sikap perlawanan terhadap perburuan liar yang masih terjadi. “Elang brontok sulit didapati. Di kawasan Sermo yang merupakan kantong habitat raptor, jenis elang brontok saja ditemui terakhir pada tahun 2010. Sebagai predator, dia punya fungsi penting dalam ekosistem, misal bisa pengendali hama,” kata Arif.

Andie Chandra Herwanto, Pengendali Ekosistem BKSDA Yogyakarta, persoalan yang dihadapi elang cukup kompleks. Bukan hanya perburuan liar, degradasi lahan, serta perkembangan elang memang lamban.

"Dua tahun sekali bertelur, itu pun paling banyak dua butir," kata Andie.

Konservasi dinilai sebagai alternatif terbaik, tetapi tempat konservasi juga terbatas dibanding jumlah satwa yang perlu ditangani. Saat ini saja, BKSDA mempunyai puluhan satwa yang dititipkan ke pusat rehabilitasi dan belum dilepasliarkan. 

Karenanya, mereka membangun pusat rehabilitasi di Tahura Bunder di Gunung Kidul. "Pelepasliaran raptor (elang brontok) sekaligus soft launching pusat rehabilitasi raptor berikutnya," kata Andie.

https://regional.kompas.com/read/2018/02/21/07204481/lulus-sekolah-elang-brontok-segera-kembali-ke-alam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke