Salin Artikel

"Kami Ingin Kawan-kawan Penganut Agama Leluhur Terpenuhi Haknya..."

Saat ini, ASB sedang melaksanakan Program Nasional Peduli. Kegiatan serupa berlangsung di 80 kabupaten dan kota di Indonesia. Targetnya adalah pemenuhan hak-hak para penganut agama leluhur.

"Wilayah kerja kita di Kota Medan dan Kabupaten Delisersang, penerima manfaatnya adalah Parmalim dan Ugamo Bangso Batak. Kami ingin kawan-kawan penganut agama leluhur terpenuhi hak-haknya yang belum diakomodir negara," kata Ferry Wira Padang, Deputy Direktur ASB, Rabu (29/11/2017).

Sejak Maret 2015, lanjut Wira, pihaknya bersama Yayasan Satunama berjuang agar semua orang terutama kaum minoritas diperlakukan setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara.

Menurutnya, program ini mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak yang berkomitmen mewujudkan terciptanya masyarakat inklusi.

Hasilnya, telah tersusun kurikulum pendidikan agama leluhur. Lahirnya kurikulum tersebut berkat campur tangan Universitas Negeri Medan dan Dinas Kependudukan dan catatan Sipil Kota Medan.

Mereka gencar mensosialisasikan UU Adminduk dan penyelesaian masalah administrasi kependudukan warga penganut agama leluhur.

Selain itu, terdapat dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Medan dan Deliserdang, Laboratorium Antropologi FISIP USU, Komisi E DPRD Sumut serta Dinas Pendidikan Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang.

Mereka yang mengimplementasi Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.

Puncaknya, sambung Wira, adalah Putusan Makhamah Konstitusi dalam judicial review dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016 terkait Adminduk UU Nomor 24 Tahun 2013 bagi identitas kewarganegaraan kelompok Penghayat agama leluhur di Indonesia.

"Tapi yang sangat penting adalah dukungan masyarakat yang tereksklusi," ucapnya.


Tiga Masalah Besar

Selama melakukan pendampingan, ASB menemukan tiga permasalahan besar yang dialami para penghayat, yaitu hak-hak dasar (administrasi kependudukan, pendidikan dan pekerjaan), kebijakan publik, dan penerimaan sosial.

Tidak sinkronnya penulisan identitas agama di KK, KTP, dan Akte Nikah, serta pemaksaan untuk memilih agama yang diakui oleh negara.

"Belum terfasilitasinya pendidikan agama bagi anak-anak penganut agama leluhur baik di tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sulitnya mendapatkan pekerjaan karena sering dipertanyakan identitas keagamaanya. Beberapa ada yang memilih keluar dari pekerjaan karena tidak mendapatkan izin beribadah," ungkap dia.

Media massa adalah jembatan untuk menyampaikan semua persoalan tersebut, supaya pemerintah menjadi institusi yang melindungi dan memenuhi hak-hak warganya.

Masyarakat pun teredukasi lewat pemberitaan sehingga menghilangkan stigma buruk dan diskriminasi kepada para penganut agama leluhur.

"Untuk memaksimalkan gerakan inklusi sosial ini, kami mengharapkan peran aktif media untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan ataupun progres yang dilakukan demi terwujudnya gerakan inklusi. Agar pemenuhan hak-hak penganut agama leluhur terpenuhi," kata Wira.

J Anto, Direktur Kajian Pendidikan Informasi dan Penerbitan Sumatera (Kippas) menambahkan, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepada media massa masih tinggi, sekitar 77 persen.

Hal ini menjadi peluang untuk para jurnalis menghasilkan karya-karya jurnalistik yang benar, bertanggung jawab, dan bernas.

"Selipkan dalam setiap tulisan kita pesan-pesan damai, yang mengajak orang untuk membuang sifat-sifat berperang dan senang konflik. Mencerdaskan pembaca untuk menghargai semua perbedaan," tegasnya.

Rosni Simarmata, pemeluk agama leluhur Ugamo Bangso Batak mengatakan, penghayat kepercayaan adalah orang-orang yang mengamalkan ajaran-ajaran leluhurnya.

Selama ini, masyarakat menstigma mereka sebagai penyembah berhala, aliran sesat, dan sebagainya. Rosni memaklumi penilaian ini karena mereka tidak paham.

"Orang-orang bilang kami sipelebegu, saya maklumi. Zaman dulu, orangtua kami menghargai dan bersyukur kepada para leluhurnya tidak di keramaian. Mereka mencari tempat sunyi dan tertutup, mereka memilih pohon-pohon besar, tapi bukan pohon itu yang mereka sembah," kata Rosni.

"Kami masih didiskriminasi, apalagi kami bukan rakyat Indonesia? Kenapa penghayat selalu dikucilkan? Tapi sekarang saya senang, dengan diketuknya palu MK, penghayat jadi viral sekarang. Saya senang, saya bangga..." sambungnya dengan girang.

Rosni mengaku, bisa seperti saat ini, berani tampil dan jujur tentang agamanya berkat dampingan ASB. Dulu sebelum didampingi, dirinya adalah pribadi yang tertutup. Dia berharap, hari baru akan tiba pascaputusan MK untuk para penghayat.

"Jadi kami tidak diperlakukan beda lagi. Kita sama-sama bangsa Indonesia, harus samalah dalam hak dan kewajibannya, duduk sejajar dan diakui di negara ini," pintanya.

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.

Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.

Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.

Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

https://regional.kompas.com/read/2017/11/29/21353871/kami-ingin-kawan-kawan-penganut-agama-leluhur-terpenuhi-haknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke