Salin Artikel

Kritik Bupati Via Facebook, Aktivis Walhi NTT Divonis 4 Bulan Penjara

Deddy divonis pada Jumat (17/11/2017) karena dianggap menghina dan mencemarkan nama baik Bupati Sumba Timur Gideon Mbiliyora melalui media sosial Facebook.

"Menyatakan terdakwa Deddy Febrianto Holo alias Deddy tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama dari penuntut umum," demikian amar putusan majelis hakim yang dikutip dari lawan web PN Waingapu.

Majelis hakim diketuai oleh Richard Edwin Basoeki dengan anggota Putu Wahyudi dan AA Ayu Dharma Yanthi. 

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan pidana denda sebesar Rp 100.000.000.( seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan," demikian putusan majelis hakim. 

Tuding kriminalisasi

Menanggapi vonis tersebut, Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan, pihaknya mengecam tindakan kriminalisasi terhadap Deddy.

"Kami mengecam bentuk kriminalisasi yang dilakukan Bupati Sumba Timur terhadap aktivis sahabat alam Wahli NTT Deddy Febrianto Holo yang dianggap melakukan pencemaran nama baik,"ucap Umbu kepada Kompas.com, Minggu (19/11/2017).

Persoalan ini, lanjut Umbu, bermula pada 7 Februari 2017 lalu, Dedy mendapat surat panggilan untuk dimintai keterangan terkait dugaan pencemaran nama baik lewat media sosial Facebook yang katanya dilaporkan oknum pegawai negeri sipil setempat.

"Pada akun Facebooknya, Deddy menulis "Di mana keberpihakan GBY-ULP (singkatan nama bupati dan wakil bupati) soal PT Ade Agro yang sampai saat ini HGU belum dicabut? Apa masih senang mendapatkan kawadak?"

Umbu menyebut, dasar pertimbangan majelis hakim, berdasarkan pada makna kata kawadak yang menurutnya bermakna ganda, namun diartikan sebagai uang berdasarkan penjelasan ahli budaya Frans Wora Hebi dan mengesampingkan bukti yang diajukan terdakwa berupa satu buah Kamus Bahasa Sumba Kambera yang ditulis OE H Kapita.

Tindakan itu kata Umbu, merupakan upaya kriminalisasi yang dilakukan kepala daerah terhadap aktivis yang selama ini kritis dengan kebijakan pembangunan di daerah setempat.

"Seolah-olah memberikan kesan bahwa kalau Anda melawan saya maka penjara tempat Anda," ucapnya.

Umbu menilai, upaya kriminalisasi itu merupakan bagian dari rancangan untuk mengalihkan perhatian publik terutama pemerhati lingkungan dan pangan terhadap kebijakan pemerintah daerah memberikan izin perkebunan tebu PT Muria Sumba Manis.

"Perusahaan itu sudah beroperasi tanpa mengantongi berbagai izin lingkungan dan telah melakukan perambahan hutan primer di daerah Sumba Timur,"ujarnya.

"Sikap kritis yang disampaikan Deddy ini yakni untuk membantu negara dalam mencegah pengabaian hak asasi warga terkait kelestarian ekologis dan berdaulat atas wilayah kelolanya," sambungnya.

Di dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 66 menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Karena itu kata Umbu, Walhi NTT mengecam bentuk kriminalisasi seperti ini dan ia menilai gaya kepemimpinan kepala daerah yang antikritik seperti ini tidak pantas untuk ditiru daerah-daerah lainnya di Indonesia khususnya di NTT.

Sebelumnya diberitakan, Bupati Sumba Timur Gidion Mbiliyora mengatakan, bahwa Deddy dilaporkan ke polisi karena dianggap telah melakukan pencemaran dan fitnah terhadap dirinya.

Ia mengatakan bahwa dalam komentar Deddy di media sosial Facebook, disebutkan bahwa dia tidak mencabut hak guna usaha (HGU) PT AA karena ia masih senang mendapat uang.

"Katanya kita tidak cabut HGU-nya PT AA karena masih senang dapat uang. Padahal kita tidak punya kewenangan untuk cabut HGU itu sehingga ada pegawai negeri sipil (PNS) di Sumba Timur yang lapor polisi," kata Gidion tanpa menyebut nama PNS itu.

Gidion menyatakan bahwa ia tidak alergi terhadap kritik. Namun, bila kritik itu mengandung fitnah atau pencemaran nama baik seseorang, ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung.

Selain itu, kata Gidion, alasan lainnya yang membuat PNS melapor ke polisi karena dirinya dituding mendapatkan tanah di Desa Napu, Kecamatan Haharu, Sumba Timur.

"Itu yang sangat disesalkan karena saya tidak pernah ajukan permohonan tanah ke kepala desa atau ke (Badan) Pertanahan," kata Gidion kepada Kompas.com, Kamis (9/2/2017).

Terhadap persoalan itu, Gidion berharap agar siapa pun yang berkomentar atau mencermati sesuatu di media sosial harus dilengkapi dengan data akurat sehingga dapat menghindari kemungkinan memberikan info yang tidak benar kepada masyarakat.

https://regional.kompas.com/read/2017/11/19/20510241/kritik-bupati-via-facebook-aktivis-walhi-ntt-divonis-4-bulan-penjara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke