Salin Artikel

Kisah Abang Becak di Tengah Laju Zaman...

Oleh sebab itu mereka menggelar aksi protes dengan berunjuk rasa di Balai Kota Kediri, Selasa (10/10/2017). Mereka meminta pemerintah tidak memberi ruang dan bahkan meminta membubarkan ojek online.

"Pokoknya kami minta untuk dibubarkan," kata Jaenal, salah seorang perwakilan abang becak di sela aksi demo.

Abang becak lainnya, Suyarno (41), mengaku pendapatannya sebagai abang becak turun drastis semenjak adanya ojek berbasis aplikasi online. Warga Ngadisimo Kota Kediri ini menyebut penurunan pendapatannya hingga mencapai 70 persen.

"Yang mudah dirasakan ya berkurangnya orderan. Kalau penghasilan uang, susah ngitungnya," ujar Suyarno.

Semula, pria yang sudah menjadi abang becak selama belasan tahun ini dalam satu hari mampu mendapat order penumpang hingga 5 kali. Sedangkan saat ini, dalam sehari, mendapat 3 penumpang saja sudah bagus.

Akibatnya, dia kerap harus menambah jam mangkalnya hingga sore demi menambah pemasukan. Kondisi ini tentu berimbas pada berkurangnya waktu bagi keluarganya.

Penghasilannya yang terus menurun juga turut mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga. Padahal tingkat kebutuhan keluarganya juga tinggi.

Selain kebutuhan dapur, ia harus membiayai dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Untuk menutup kebutuhan keluarganya itu, istri Suyarno juga turut membantu dengan bekerja serabutan. Utamanya pada buruh setrika di lingkungannya. Ini cukup meringankan beban ekonomi keluarganya.

Belakangan, pendapatan istrinya juga turut menurun. Ini dipengaruhi tren jasa cuci dan setrika atau laundry yang semakin menjamur. Sehingga para pengguna jasa istrinya juga terus berkurang karena lari memanfaatkan laundry yang semakin murah dan hasilnya bagus itu.

Kondisi itu kembali memperburuk keuangan keluarganya. Suyarno kembali harus bersusah payah memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Pola hidup irit sudah dijalankan, namun kerap masih harus pontang-panting menutup kebutuhan.

Dengan kondisi seperti itu, mendapatkan uang secara langsung dan tunai adalah sebuah godaan. Jalan demikian kerap dilakukan dengan cara berhutang kepada rentenir.

Suyarno mengaku keluarganya kerap memanfaatkan jasa bank plecit. Pengajuan hutang Rp 50.000 biasanya cair hanya Rp 45.000. Pembayarannya dilakukan setiap hari dengan dicicil sebesar Rp 5.000 selama 12 kali. Jika ditotal, ia harus melunasi sebesar Rp 60.000.

"Istri saya terpaksa ambil hutang," ujarnya.

Dia menyadari betul profesinya sebagai abang becak semakin terhimpit. Namun dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja karena untuk beralih profesi membutuhkan modal.

"Saya sebenarnya ingin beralih usaha, tapi juga tidak punya modal," ujarnya lirih.

Dengan situasi seperti itu, anak-anaknya lah yang menjadi semangatnya hingga tercipta asa. Dia akan berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya itu demi menjaga jangan sampai putus sekolah.

"Anak-anak saya harus tuntas belajarnya. Kalau mereka berpendidikan, setidaknya tidak jadi tukang becak," pungkasnya. 

https://regional.kompas.com/read/2017/10/10/16330711/kisah-abang-becak-di-tengah-laju-zaman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke