Salin Artikel

Ekonomis dan Ekologis Bambu Trenggalek (1)

Melalui sambungan telepon, pria 40 tahun itu sedang menghubungi pemilik kendaraan yang biasa mengantar tusuk satenya ke luar kota. Rencananya, tusuk sate itu akan dikirim ke Wonogiri, Jawa Tengah.

Di samping rumahnya, empat pegawai terlihat sibuk memproses batangan bambu untuk dipotong menjadi tusuk sate. Ada empat unit mesin yang dioperasikan untuk memproses bambu setengah jadi menjadi tusuk sate.

Selain Wonogiri, daerah yang kerap disuplai tusuk sate oleh Mahrus adalah Yogyakarta, Solo, bahkan sampai ke Tangerang. Tapi akhir-akhir ini, tusuk satenya jarang dilempar ke luar Jawa Timur.

"Karena permintaan pasar regional sekarang tinggi, sampai-sampai tidak memenuhi," ucapnya.

Mahrus Ali adalah satu dari puluhan perajin bambu di Desa Wonoanti yang hidup dengan menggerakkan sumberdaya alam bambu yang melimpah di desanya.

Dalam sehari, usahanya bisa memproduksi 2 kuintal tusuk sate dari bambu. Bapak tiga anak itu menjual tusuk sate dalam satuan kilogram. Per kilogram ada yang Rp 12.000, ada yang Rp 13.500. "Tergantung jenis ukuran dan peruntukannya," terang Mahrus.

Tidak jauh dari rumah Mahrus Ali, di desa yang sama, Murdi (48) sedang mengencangkan tali rotan pengikat kursi bambu. Ia sedang mengerjakan finishing kursi bambu pesanan warga Surabaya, yang tiga hari lagi akan dijemput pemiliknya.

Di tempat Murdi, bambu diolah menjadi barang yang lebih memiliki nilai ekonomis. Soekatno, pemilik pusat kerajinan bambu itu mengubah tumbuhan jenis rerumputan menjadi perabotan berbentuk kursi, tempat tidur, tempat makanan, dan keranjang hingga hiasan, dan alat musik angklung.

Tidak hanya itu, tangan-tangan kreatif pekerjanya di bengkel "Bambu Indah Craft" juga mampu mengubah bambu menjadi gazebo yang indah untuk diletakkan di halaman rumah.

"Pagar, kran air, dan dinding kamar mandi, bisa kita buat dari bambu," katanya kepada Kompas.com akhir pekan lalu.

Tanaman bambu yang banyak tumbuh di lahan-lahan tidur itu mengubah nasib pria 58 tahun itu sejak 26 tahun terakhir.

Tidak hanya keuntungan finansial yang didapat. Kebanggaan karena berhasil mengubah citra penganyam bambu yang sebelumnya identik dengan pekerjaan murahan menjadi pekerjaan terhormat terbukti mampu mengangkat perekonomian warga di desanya.

"Dulu, Desa Wonoanti terkenal dengan desa miskin. Pekerjaan menganyam bambu disebut pekerjaan rendah dan murahan, saya sering diejek teman dari desa lain," jelasnya.

Kini, menganyam menjadi keahlian yang dapat mendatangkan banyak rupiah, karena Katno melibatkan warga Desa Wonoanti untuk mengerjakan order anyaman dan produk bambu lainnya. Terlebih, pasar produk bambunya pernah tembus ke pasar Eropa dan Asia.

Sayangnya, sejak 7 tahun terakhir, dia menghentikan aktivitas ekspornya ke luar negeri karena alasan ketidakcocokan harga yang dipasang eksportir.

"Harganya terlalu rendah, pengrajin di sini menolak. Lebih untung memproduksi untuk pasar lokal," terang Bibit Andayani, isteri Soekatno.

Meski hanya memasok kebutuhan pasar dalam negeri, usaha kerajinan tangan bambu yang dijalankan Soekatno terbilang maju. Omzetnya tiap bulan mencapai Rp 100 juta.

Dalam menjalankan bisnisnya, ia dibantu 50 pekerja. Mereka memproduksi handycraft bambu untuk memenuhi permintaan pasar. Di Trenggalek, tempat usahanya selalu menjadi rujukan tamu-tamu penting kepala daerah.

Bupati Trenggalek, Emil Elistyanto Dardak kerap membawa mampir tamunya dari dalam maupun luar negeri sebagai upaya promosi produk Usaha Kecil Menengah (UKM) khas Trenggalek.

Usaha Favorit

Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek, Muhammad Siswanto mengatakan, kerajinan berbahan bambu Trenggalek tidak hanya ada di Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari.

Kerajinan ini bisa juga ditemukan di Desa Sugihan, Kecamatan Kampak, serta beberapa desa di Kecamatan Dongko, dan Kecamatan Durenan.

"Di desa Kampak, kelompok pemuda bahkan membuat komunitas kerajinan berbahan bambu untuk hiasan yang lebih mahal," jelasnya.

Catatan Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek, usaha kerajinan bambu mendominasi jumlah usaha kerajinan masyarakat yang tumbuh di pedesaan.

Dari data Indeks Desa Membangun Kabupaten Trenggalek 2016, jumlah industri pengolahan bambu tercatat sebanyak 6.500 unit.

Lalu industri batu bata menempati posisi kedua dengan jumlah 4.850 unit, dan ketiga ditempati industri genteng sebanyak 1.600 unit. Sisanya ada industri penbuatan krupuk, mebel, tahu, dan sebagainya.

Pada 2016, industri pengolahan menyumbang 14 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Trenggalek atau Rp 2 triliun lebih dari angka global PDRB Kabupaten Trenggalek sebesar Rp 14, 91 triliun.

Di tingkat regional, sumbangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) pada PDRB Provinsi Jawa Timur lebih besar, bahkan mencapai 54 persen. Pada periode Januari hingga Agustus 2016 menurut catatan BPS, nilainya mencapai lebih dari Rp 900 triliun.

Karena itulah, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, di beberapa kesempatan selalu mengingatkan pemerintah daerah untuk mengembangkan sektor UMKM. Sebab sektor UMKM terbukti paling tahan terhadap terpaan krisis ekonomi. Bahkan disaat industri besar mulai goyah.

Pemerintah Kabupaten Trenggalek, sambung Siswanto, terus berupaya mengembangkan produk UMKM melalui beragam cara, di antaranya dengan pelatihan serta membuka dan memperluas pasar dalam dan luar negeri melalui pameran.

Bahkan pada 11-15 Oktober mendatang, 2 UKM asal Trenggalek terpilih untuk mengikuti pameran dagang terbesar di Indonesia yang digelar Kementerian Perdagangan yakni Trade Expo Indonesia (TEI) 2017 di Indonesia Convention Exhibition Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan.

Salah satunya adalah UKM kerajinan bambu "Bambu Indah Craft" milik Soekatno dari Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari.

Bahan Baku Melimpah

Sejak mengembangkan usaha berbahan baku bambu, Mahrus Ali dan Soekatno tidak pernah sekalipun mengeluh kekurangan bahan baku. Keduanya mengaku bambu sangat melimpah di Desa Wonoanti, dan Trenggalek sendiri pada umumnya.

Bahkan di Desa Wonoanti, kata Soekatno, ada lahan khusus yang pernah ditanami bambu oleh kelompok mahasiswa pada 2005. Warga desa Wonoanti bebas mengambilnya untuk keperluan apapun.

"Tapi warga lebih memilih membeli, karena medan lahan tempat ditanamnya bambu cukup sulit," jelasnya.

Mujianto, Kepala Desa Wonoanti, mengakui bambu sangat melimpah di desanya. Potensi alam itu dimanfaatkan secara ekonomi oleh ratusan warga sebagai pengrajin bambu secara turun temurun.

"Jadi keahlian membuat handycraft dari bambu sudah warisan nenek moyang di desa Wonoanti," kata kepala desa yang dua periode memimpin ini.

Hingga saat ini, tercatat ada sekitar 200 perajin bambu di Desa Wonoanti. Dari yang skala besar sedang, hingga besar. "Usaha skala besar biasanya memberi order pekerjaan kepada yang skala kecil. Mereka saling membantu," ucapnya.

Selain perajin bambu, perekonomian warga desanya juga digerakkan oleh aktivitas pertanian dan perkebunan, serta aktivitas produksi genteng, dan batu bata berbahan tanah liat.

Jumlah industri pengolahan bambu tercatat terus meningkat sejak 3 tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Trenggalek, pada 2014 jumlah industri pengolahan bambu sebanyak 6.375, sementara pada 2015 bertambah menjadi 6.390 unit.

Di dua tahun itu, jumlah industri pengolahan bambu menjadi usaha yang paling banyak ditekuni warga Trenggalek dalam indeks industri kecil dan kerajinan rakyat.

https://regional.kompas.com/read/2017/09/30/07193991/ekonomis-dan-ekologis-bambu-trenggalek-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke