Salin Artikel

Kisah Dewi Suryana: Beli Lauk Seadanya demi Kuliah di Singapura (3)

Dibesarkan di tengah keluarga sederhana, sejak kecil Dewi ditempa dengan beratnya hidup. Karena penghasilan orangtuanya yang pas-pasan, Dewi selalu berusaha mendapatkan beasiswa untuk membiayai sekolahnya.

Ketika sekolah di SMP Immanuel Pontianak, Dewi pernah menunggak uang sekolah hingga akhirnya mendapatkan beasiswa.

Ketika pindah ke Tangerang dan menempuh studi di SMAK Penabur Gading Serpong, ia kembali meraih beasiswa. Ia juga bekerja sambilan sebagai guru les privat untuk mencari uang tambahan guna keperluan hidup jauh dari orangtuanya.

Ketika diterima kuliah di Nanyang Technological University di Singapura, ia kembali mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia.

Namun, pencairan beasiswa ini rupanya sering telat sehingga membuat dia harus berjuang bertahan hidup di awal-awal perkuliahannya.

Dengan kondisi keuangan keluarganya yang terbatas, keterlambatan beasiswa ini menjadi mimpi buruk bagi Dewi mengingat biaya hidup di Negeri Singa serba mahal.

Gadis kelahiran 9 September 1995 itu harus berhemat luar biasa menunggu pencairan beasiswa yang sering molor itu.

"Untuk makan sehari-hari, saya harus menanak nasi sendiri di kamar kos. Saya hanya datang ke kantin kampus membeli lauk seharga 1 dollar Singapura (sekitar Rp 10.000)," tutur Dewi kepada kontributor Kompas.com Ericssen di Singapura, awal September lalu.

Karena kebiasaannya membeli lauk seharga itu, penjual makanan di kantin kampus mengenalinya dan hafal lauk apa yang ingin dia beli.

"Biasa saya datang membawa kontainer lauk dan tante penjual itu sudah mengerti dan memberi saya lebih banyak porsi lauk daripada orang lain," ujarnya.

Sebagai manusia biasa, terkadang Dewi merasa iri melihat teman-temannya membeli makanan dengan lauk lengkap. Ada perasaan minder ketika ia datang di kantin hanya untuk membeli lauk yang itu lagi-itu lagi.

"Bagi mereka, nasi dengan lauk itu adalah hal yang biasa. Bagi saya, nasi dengan lauk yang lengkap adalah sesuatu yang istimewa, apalagi mengingat betapa sulitnya bagi saya dan keluarga ketika di Pontianak untuk makan 3 kali sehari," kenang Dewi.


Perasaan minder itu juga muncul karena adanya anggapan bahwa siapa pun yang berkuliah di Singapura, termasuk NTU, apalagi warga Indonesia berdarah Tionghoa, biasanya berasal dari kaum menengah ke atas.

"Kenyataannya, tidak semua berkecukupan seperti saya ini. Bahkan terkadang saya tidak makan siang dan harus menahan lapar dengan minum air," kata peraih perak pada International Junior Science Olympiad (IJSO) di Azerbaijan (2009) dan International Chemistry Olympiad (IChO) di Amerika Serikat (2012) itu.

Bisa dibilang, Dewi sudah kewalahan memikirkan cara untuk makan. Tidak heran bila dia hampir tidak pernah meluangkan waktu untuk menonton film di bioskop atau makan di restoran.

Dewi melawan semua itu dengan semangatnya menyelesaikan kuliah secepat mungkin.

Ia berusaha mendapatkan penghasilan dengan cara menjadi guru les privat seperti pernah dilakukannya di Jakarta.

Itu bukan perkara mudah. Tidak gampang bagi Dewi untuk mendapatkan murid. Tiga bulan pertama, tidak ada satu pun murid untuknya karena ia tidak memiliki pengalaman mengajar dengan bahasa Inggris.

Kemampuan berbahasa Inggris yang terbatas itu pernah menggagalkan usaha Dewi mendaftar di National University of Singapore, hingga kemudian ia melamar ke NTU berkat bantuan temannya, Anton Wardaya.

Anton yang mendirikan Wardaya College tempat Dewi pernah bekerja paruh waktu di Jakarta kemudian membantu Dewi mencarikan murid di Singapura. Anton juga membantu Dewi ketika gadis 21 tahun itu kehabisan uang sebelum beasiswanya cair.

"Saya dan murid itu saling belajar. Saya mengajari dia eksakta, dia membantu saya bahasa Inggris. Syukurlah murid tersebut juga tidak keberatan dengan kekurangan saya," kata Dewi dengan antusias.

Dari semula hanya satu murid, lama kelamaan banyak yang mendengar kemampuan Dewi. Jumlah muridnya bertambah hingga 13 orang, baik dari tingkat SMP maupun SMA di Singapura.


Dari hasil mengajar tambahan itu, Dewi dapat menabung dan mengirimkan sebagian pendapatannya kepada keluarganya di Pontianak. Seiring berjalannya waktu, kehidupan Dewi dan keluarganya pun mulai membaik.

Di tengah kesibukannya itu, Dewi tetap mengutamakan kuliah. Ia bahkan sanggup mengambil satuan kredit semester (SKS) dan mata kuliah lebih banyak dibanding mahasiswa lain.

Hasilnya, Dewi lulus gelar sarjana S-1 dalam waktu tiga tahun, lebih cepat dari umumnya empat tahun. Pada 30 Juni 2016, ia diwisuda dengan predikat prestius First Class Honours. Hanya lima persen mahasiswa yang bisa lulus dengan prestasi mentereng seperti itu.

Saat ini Dewi telah bekerja di Lam Research Corporation sebagai field process engineer. Perusahaan ini telah menerimanya sebelum dia lulus kuliah.

Dewi juga masih tetap mengajar privat di malam hari seusai jam kerja kantor. Dia berencana mengurangi aktivitas itu agar memiliki waktu lebih lama untuk beristirahat dan berkomunikasi dengan keluarganya.

https://regional.kompas.com/read/2016/09/21/06020031/kisah-dewi-suryana-beli-lauk-seadanya-demi-kuliah-di-singapura-3

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke