KUNINGAN, KOMPAS.com – Seperti biasa, Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Minggu (4/12/2016) pagi, cukup ramai.
Beberapa penghayat Sunda Wiwitan terlihat membersihkan kompleks gedung tersebut. Ada yang menyapu, membersihkan kendaraan, ada pula yang berbincang-bincang.
Obrolan mereka terkadang terhenti ketika bertemu dengan tetangga atau saudaranya yang akan mengikuti misa di Gereja Katolik Kristus Raja.
Mereka bertegur sapa. Dari kejauhan, terdengar penghayat Sunda Wiwitan bertanya, "Bade ka gereja? (Mau ke gereja?)"
Dengan Alkitab di tangan, jemaat yang akan menjalankan misa pun menjawab, "Sumuhan, A. Dikantun heula. (Ya, Kak. Saya tinggal dulu)."
Seusai bertegur sapa, obrolan yang sempat terputus pun berlanjut. Mereka larut dalam perbincangan yang diiringi suara sayup-sayup orang mengaji dari pelantang suara sebuah masjid di daerah tersebut.
"Inilah kami. Inilah Cigugur. Kami hidup dalam keberagaman," ujar anak tetua adat Cigugur Gumirat Barna Alam.
Ia mengatakan, penghayat Sunda Wiwitan dan penganut Katolik atau Protestan yang saling bertegur sapa tersebut bisa jadi kakak beradik. Itu karena di Cigugur, satu rumah bisa dihuni oleh berbagai agama.
"Rata-rata satu rumah dihuni tiga agama. Misal, orangtuanya Sunda Wiwitan dan anaknya ada yang Islam, ada pula yang Katolik atau Protestan. Tapi semuanya hidup damai, tidak pernah ada perselisihan soal agama," kata Gumirat.
Keluarga besar Gumirat pun demikian. Dari delapan anak tetua adat, anak tertuanya seorang pendeta.
Anak kedua beragama Katolik dan anak ketiga beragama Islam. Lima anak lainnya, termasuk dirinya, menganut Sunda Wiwitan.
Baginya, perbedaan tersebut bukan persoalan. Mereka berpegang pada prinsip bahwa manusia diciptakan untuk hidup harmonis.
"Kami hidup rukun dan damai. Di rumah kami memperbincangkan banyak hal, di antaranya mengenai hubungan sosial," kata dia.