Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerja Keras Petani Kopi Papua

Kompas.com - 03/11/2016, 06:51 WIB

KOMPAS.com - Dua tahun lalu, Maksimus Lani mampir ke sebuah kedai kopi modern di Jakarta. Ia memesan secangkir kopi arabika wamena. Ia kaget bukan kepalang begitu tahu harga secangkir kopi wamena mencapai Rp 100.000.

Dari pengalaman di Jakarta, Maksimus sadar bahwa kopi yang ditanam di Lembah Baliem, Pegunungan Tengah Papua, itu punya nilai ekonomi tinggi. Ia senang mengetahui hal itu, tapi pada saat bersamaan ia merasa miris. Pasalnya, ia tahu perkebunan kopi arabika di Pegunungan Tengah belum dimanfaatkan secara maksimal.

Ketika berkunjung ke sejumlah daerah perkebunan kopi di Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo beberapa tahun lalu, ia melihat banyak petani membiarkan biji-biji kopi yang ranum perlahan membusuk di pohon. Itu terjadi karena harga kopi di tingkat petani sangat rendah.

Tengkulak hanya mau membayar Rp 5.000-Rp 10.000 per kilogram. Akibatnya, petani tidak bergairah membudidayakan kopi secara serius. Mereka pasrah pada alam yang berbaik hati memberikan kopi serta tengkulak yang mematok harga rendah.

Maksimus merasa bisa mengubah keadaan itu. Ia memiliki pengalaman menjadi petani kopi di Walesi, Kabupaten Jayawijaya, sejak 1997. Ia juga pernah mengikut program magang mengelola kopi di Jember, Jawa Timur, pada September 2010 yang digelar oleh Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya. Saat itu, ia belajar mulai dari cara menanam, mengolah biji kopi pasca panen, hingga mengemas biji kopi yang akan dijual.

Laki-laki yang semula bertani sayur, ubi, dan beternak babi itu akhirnya mengambil inisiatif untuk menularkan pengetahuannya kepada petani kopi di Pegunungan Tengah Papua sejak Januari 2014. Melalui para tetua adat, ia temui para petani di sentra-sentra perkebunan kopi.

Pertama-tama, ia menyadarkan petani bahwa kopi arabika dari Pegunungan Tengah Papua punya nilai ekonomi tinggi sehingga mesti dikembangkan untuk kesejahteraan petani. Berikutnya, ia mengajarkan dasar-dasar pengolahan biji kopi arabika mulai dari pengupasan kulit, penjemuran, hingga proses fermentasi biji kopi dan pengemasan.

"Biasanya proses penjemuran biji kopi memakan waktu hingga sepekan karena cuaca di wilayah ini sejuk. Tetapi, proses fermentasi biji kopi hanya memakan waktu sehari," papar Maksimus yang ditemui di Okesa, sekitar 20 kilometer dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, pertengahan Agustus lalu.

Nekat

Perlahan tapi pasti, kegairahan petani untuk memproduksi kopi muncul. Sejak pertengahan 2014, mereka giat merawat perkebunan kopi yang ada di Lembah Baliem pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut di tengah udara yang sejuk. Lingkungan seperti ini menghasilkan kopi beraroma kuat dan harum.

Persoalan berikutnya adalah siapa yang mau membeli kopi petani dengan harga lebih tinggi daripada yang ditawarkan tengkulak? Maksimus dengan setengah nekat bersedia membeli kopi petani. Ia menawarkan harga Rp 30.000-Rp 40.000 per kilogram biji kopi, bergantung pada kadar airnya. Harga itu 3-5 kali lipat harga yang dipatok tengkulak. Pembelian dilakukan melalui Koperasi Okesa yang didirikan Maksimus dengan bantuan modal dari Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Saat ini, jumlah anggotanya sekitar 500 petani.

Mendapatkan harga yang tinggi, petani semakin giat mengembangkan kopi. Dari anggota Koperasi Okesa, Maksimus bisa mendapatkan 20 ton biji kopi kering per tahun dari perkebunan kopi seluas 272 hektar. Perkebunan itu terdiri dari 152 hektar di Jayawijaya serta 120 hektar di Tangma dan Kurima yang masuk wilayah Kabupaten Yahukimo.

Dengan setoran kopi sebanyak itu, Maksimus mesti bekerja keras memasarkan lagi kopi yang dibeli dari petani ke distributor dan pabrik pengolahan kopi. Ia terbang ke Jayapura, ibu kota Papua, membawa sampel kopi untuk ditawarkan kepada PT Garuda Mas. Ia juga menemui pengurus Koperasi Kopi Amungme bernama Arnold di Kabupaten Mimika.

"Saya hanya modal nekat memasarkan biji kopi milik petani di Jayapura dan Timika (ibu kota Kabupaten Mimika). Puji Tuhan, usaha saya berhasil," ujar Maksimus.

Ia menjual biji kopi kepada pembeli di Jayapura seharga Rp 70.000 per kilogram dan di Timika seharga Rp 80.000 per kilogram. Harga penjualan masih tinggi karena biaya angkut kopi dengan pesawat dari Wamena cukup mahal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com