"Mereka itu bukan manusia perahu, mereka itu nelayan asing, nelayan Malaysia. Bohong kalau mereka itu bilang manusia perahu," ujar Bahri saat berbincang santai dengan Kompas.com di rumahnya, Rabu (26/11/2014).
Bahri memiliki darah keturunan Suku Bajo, suku yang sama dengan mereka yang disebut-sebut sebagai manusia perahu tersebut. Nenek moyang Bahri dengan mereka pun sama, dari Bangau-Bangau, Samporna, Malaysia.
Oleh sebab itu, Bahri yang seumur hidupnya tinggal di Derawan bisa berkomunikasi dengan mereka. (Baca: Ini Asal-usul Manusia Perahu)
"Kalau saya tanya, bahasa kita kan sama, dia bilang dari Bangau-Bangau (Malaysia). Mereka bilang punya rumah di sana. Makanya, begitu berita manusia perahu itu muncul, saya bilang salah. Mereka nelayan asing," ujar dia.
Bahri mengakui bahwa keberadaan mereka di perairan Indonesia sudah lama sekali, mungkin sejak sekitar tahun 1980-an. Namun, saat itu, jumlah mereka masih bisa dihitung dengan jari. Bahri mengaku terkejut saat patroli penangkapan menunjukkan bahwa jumlah mereka meledak hingga 544 jiwa. (Baca: Manusia Perahu: Saya Bersedia Ditembak jika Kembali ke Indonesia)
Sebagai nelayan yang hidup di wilayah konservasi, Bahri merasa keberadaan mereka mengancam keanekaragaman hayati di perairan Berau. Sebab, nelayan lokal hanya bisa menangkap ikan di zona tertentu.
"Kalau mereka kan tidak. Terobos-terobos saja. Makanya, kami mintalah kepada pemerintah pusat supaya lebih baik memulangkan mereka saja ke asalnya," ujar Bahri.
Saat ini, 544 manusia perahu masih ditampung di tenda kampung Tanjung Batu, Berau. Mereka sebelumnya ditangkap oleh satuan keamanan laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, dan Polri, beberapa waktu lalu. (Baca: Manusia Perahu: Kalau Pulang ke Malaysia, Kami Dikejar, Dibunuh)
Mereka tidak terdaftar sebagai warga negara Indonesia. Mereka kebanyakan berasal dari Samporna di Malaysia dan Filipina. Pemerintah Indonesia menganggap mereka mencuri hasil laut Indonesia untuk dijual ke negara lain berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Rencananya, mereka akan dikembalikan ke asalnya, tinggal menunggu koordinasi dengan sejumlah kementerian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.