Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontestasi di Bawah Bayang-bayang Golput

Kompas.com - 30/08/2013, 13:36 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengalaman dalam ajang kontestasi politik lokal di Jawa Timur menunjukkan ilustrasi anjloknya tingkat partisipasi pemilih. Merosotnya minat pemilih tak hanya terjadi di tingkatan provinsi, melainkan juga secara merata pada perhelatan pesta politik di tingkat kabupaten/kota.

Rendahnya tingkat partisipasi pemilih ini memang menjadi fenomena yang akrab dengan setiap ajang kontestasi pemilihan kepala daerah di Indonesia. Bahkan, di sejumlah daerah hasil pemilihan kepala daerah dimenangi oleh golongan putih alias mereka yang tidak menggunakan hak pilih.

Pada Pilkada Jawa Timur lima tahun lalu, rendahnya antusiasme masyarakat terlihat dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya hanya sebesar 61,7 persen. Pada putaran kedua, tingkat partisipasi makin anjlok dengan catatan 54,3 persen yang memberikan suara.

Gambaran rendahnya antusiasme pemilih juga terjadi pada pemilihan bupati dan wali kota. Data yang berhasil dihimpun dari 28 daerah di Jawa Timur yang telah menyelenggarakan dua kali pilkada, hampir 80 persen di antaranya mengalami penurunan tingkat partisipasi.

Beberapa daerah yang mengalami penurunan tingkat partisipasi secara signifikan antara lain adalah Kabupaten Trenggalek, Sumenep, dan Malang. Pada pemilihan wali kota Trenggalek, Agustus 2005, tak kurang dari 72 persen pemilih yang ikut menyumbangkan suara.

Anjloknya partisipasi pemilih terjadi pada penyelenggaraan pilbup berikutnya di tahun 2010. Pemilih yang datang ke TPS hanya 59 persen dari total pemilih di kabupaten tersebut. Pengalaman serupa juga terjadi di Sumenep, minat pemilih dalam pilkada 2005 sebesar 73 persen, anjlok menjadi 64 persen pada pilkada 2010.

Kota Surabaya menjadi potret yang paling menggambarkan rendahnya antusiasme pemilih. Dua kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah di kota buaya itu, minat pemilih untuk menyumbangkan suaranya tercatat paling rendah, bahkan dibandingkan secara nasional. Dalam ajang pemilihan wali kota langsung yang untuk pertama kali diselenggarakan tahun 2005, tercatat hanya separuh dari pemilih (51 persen) yang datang ke bilik suara.

Pada pemilihan wali kota Surabaya berikutnya (2010), tingkat partisipasi merosot jadi 45 persen. Bahkan hasil pencoblosan ulang yang dilakukan tiga bulan kemudian dan dimenangi oleh pasangan Tris Rismaharini-Bambang DH, tingkat partisipasi pemilih di Surabaya makin anjlok lagi jadi 43,5 persen.

Banyak faktor yang bisa jadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Antara lain minimnya pengenalan masyarakat terhadap sosok para calon yang akan bertarung. Bagaimanapun, sosok pasangan calon yang bertarung dalam ajang pilkada berperan dalam menentukan tinggi rendahnya minat pemilih untuk menyumbangkan suara mereka.

Setidaknya gambaran ini tampak dari hasil jajak pendapat yang berhasil dijaring Kompas sepekan sebelum Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013. Salah satu faktornya terkait dengan komposisi figur yang bertarung. Sedikitnya 19 persen dari responden tidak berminat mencoblos, menyatakan alasan tidak adanya pasangan calon yang mereka percaya.

Pengenalan publik yang minim terhadap pasangan calon pun, dapat memperlemah minat publik untuk turut memilih calon kepala daerahnya. Secara teoretis, tingkat pengenalan publik terhadap latar belakang pasangan calon menjadi indikator penting dalam setiap ajang pemilihan umum. Pengetahuan pemilih terhadap kualitas calon yang akan dipilihnya menjadi alat ukur rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan 10 hari sebelum hari pencoblosan, menunjukkan kurang dari separuh responden menyatakan mengetahui latar belakang setiap pasangan calon. Pengenalan publik ini diukur dari pengetahuan mereka terkait latar belakang profesi/pekerjaan, partai pendukung, serta asal daerah setiap pasangan.

Dengan modal minimnya pengenalan publik ini, tak heran jika mayoritas pemilih yang memutuskan datang ke tempat pemungutan suara terbatas pada alasan pemenuhan kewajiban mereka sebagai warga negara. Tujuh dari 10 responden yang diwawancarai termasuk dalam kategori pemilih yang akan menyumbangkan suara mereka dengan alasan itu. Padahal, kelompok pemilih dalam kategori inilah yang rentan dimobilisasi. (SUWARDIMAN/LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com