SEMARANG, KOMPAS.com - Kota Semarang memiliki beragam tradisi unik untuk menyambut bulan suci Ramadhan.
Salah satunya, Gebyuran Bustaman yang konsisten dilakukan tiap tahun di Kampung Bustaman, Purwodinatan, Kota Semarang.
Sesuai namanya, Gebyuran Bustaman merupakan ritual perang air yang disimbolkan sebagai bentuk penyucian diri dari dosa-dosa sebelum berpuasa.
Pasalnya, tradisi ini lahir sejak tahun 1742 silam yang dipelopori oleh Kyai Bustam. Seiring berjalannya waktu, ritual ini sempat terhenti dan mulai dihidupkan kembali pada tahun 2012.
Hal tersebut disampaikan tokoh masyarakat setempat, Hari Bustaman. Dia menyebut, kini masyarakat Kampung Bustaman sangat antusias memeriahkan tradisi Gebyuran Bustaman.
Baca juga: Kemeriahan Tradisi Mandi Bersama Gebyuran Bustaman di Semarang Jelang Ramadhan
"Dulu pas tahun 1742 Kyai Bustam menyirami cucunya jelang puasa. Tradisi ini kita bawa sampai sekarang, sudah 300 tahun."
"Meski sempat berhenti, tapi kita hidupkan lagi tahun 2012," ucap Hari, Minggu (3/3/2024).
Tradisi ini diawali dengan mencoret-coret wajah dengan warna hijau, merah, putih, biru, hingga kuning yang diartikan sebagai dosa-dosa hidup.
Lantas, air yang digebyurkan ke tubuh dinilai sebagai lambang pembersihan diri.
"Coret coret wajah lambang dosa dan kesalahan. Setelah merata coretannya, masyarakat Bustaman datang kita gebyur dan bersih. Ibaratnya coretan dosa sebelum puasa bersih," ucap dia.
Uniknya, air yang digunakan untuk saling lempar dan siram antarwarga ialah air warna-warni yang dibungkus plastik.
Bahkan, ada pula yang menyiapkan ember dan selang untuk menyemarakkan Gebyuran Bustaman.
Salah satu influencer asal Semarang, Udin Lar, mengaku, sangat antusias mengikuti Gebyuran Bustaman.
Menurut dia, tradisi ini merupakan ritual unik yang harus diketahui oleh anak-anak muda jaman sekarang.
"Kan jarang-jarang, biasanya muda sekarang ngerti-nya hanya medsos viral. Ternyata hal-hal seperti ini masih ada dan masih dilestarikan," ucap Udin.