MAGELANG, KOMPAS.com – "Saya enggak tahu jika suatu saat mengundurkan diri atau di-PHK. Pekerja kontrak kan tidak dapat uang pesangon."
Kalimat itu keluar dari mulut Lanin—bukan nama sebenarnya, buruh di kawasan industri garmen di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia risau atas status kerjanya yang bisa diputus kapan saja sonder kompensasi.
Tahun ini tahun kelima Lanin bekerja di sebuah pabrik padat karya produsen tekstil. Ia langsung bekerja begitu lulus dari sekolah menengah atas.
Lanin mesti melakoni masa pelatihan terlebih dulu selama tiga bulan. Dalam durasi ini, ia menerima upah kisaran 50-75 persen dari upah minimum kabupaten/kota (UMK). Saat itu, warsa 2019, UMK Kabupaten Magelang sebesar Rp 1.882.000.
Baca juga: Kisah Chandra, Perajin Barongsai di Semarang yang Kebanjiran Pesanan Jelang Imlek
"Selesai training, disodori kontrak kerja. Dulu, minimal 4 tahun kerja (diangkat menjadi pekerja) tetap. Tapi, sekarang kontrak terus. Tiap tahun pembaruan kontrak," ungkap perempuan usia 20-an ini, Jumat (2/2/2024).
Di tempatnya bekerja, presensi menjadi hal ketat. Frekuensi kerja menjadi indikator pabrik bakal memberi perpanjangan kontrak atau tidak.
Bila buruh sering absen, pabrik tak segan menilai kinerjanya rendah dan tidak menyodori kontrak baru.
Hal demikian dikhawatirkan Lanin. Dia berandai-andai bila mesti absen lebih dari tiga hari—batas toleransi dari pabrik—karena hal tertentu. Entah sakit, entah kejadian lain di luar kuasanya.
Tahun lalu, dia bercerita, pabrik "meliburkan" sejumlah buruh selama seminggu. Mereka diperbolehkan bekerja kembali asal melampirkan surat lamaran pekerjaan.
Mereka diperlakukan seolah pekerja baru meski telah bekerja di sana selama 2-3 tahunan.
"Konsekuensinya mereka tidak dapat uang makan dan transportasi," tuturnya.
Lanin mendapat upah sesuai UMK Kabupaten Magelang tahun ini senilai Rp 2.316.890. Nominal ini masih dipotong sebagiannya untuk BPJS Ketenagakerjaan dan koperasi.
Diakuinya, pabrik selalu menggaji tepat waktu. Tunjangan Hari Raya (THR)—satu-satunya tunjangan yang diberikan pabrik—juga demikian.
Kendati, sewaktu pagebluk Covid-19 warsa 2020, dia menerima upah tak sampai separuhnya meski libur pada April sampai Mei. Bulan pertama dia terima 25 persen, bulan kedua 35 persen. THR, pada 2020 dan 2021, dibayar penuh dengan skema pencicilan.
Dari tahun ke tahun tarik-menarik bipartit antara buruh dan pengusaha ihwal kenaikan upah minimum selalu tegang. Untuk 2024, misal, buruh menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 10-15 persen.