KOMPAS.com - Mereka yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT), sopir angkot, penjual sabun keliling, dan tukang mi ayam memperebutkan kursi legislatif dalam Pemilu 2024.
Dengan berbekal dana Rp 1 juta hingga Rp 6 juta, mereka tetap menyimpan asa untuk menang, walau itu bukan jadi tujuan utama.
Angka ini tentu tak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan oleh para caleg pada umumnya.
Dalam sebuah riset, biaya yang dikeluarkan seorang caleg pada pemilu-pemilu sebelumnya berkisar dari Rp 250 juta hingga Rp 2 miliar.
Salah satu dari mereka adalah Juli Basaroni (42), pedagang mi ayam keliling asal Karawang. Ia maju menjadi caleg DPRD Karawang, nomor urut terakhir, yaitu sebelas.
Lalu, bagaimana para caleg miskin itu menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye?
Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, mengikuti kegiatan mereka bertemu dengan para calon pemilih.
Juli yang memiliki empat anak sempat bekerja sebagai buruh pabrik sampai akhirnya dipecat secara sepihak oleh perusahaan pada tahun 2012.
Usai di-PHK, dia silih berganti profesi. Mulai dari pedagang kelontong, pecel lele, hingga akhirnya kini berjualan mi ayam dengan pendapatan rata-rata Rp 100.000 per hari.
“Saya masuk kategori masyarakat miskin kota. Keluarga saya terdaftar dalam bantuan masyarakat tidak mampu. Saya bisa disebut caleg miskin,” katanya.
Selama menjadi caleg, Juli mengaku telah menghabiskan uang sebesar Rp 1,5 juta, untuk proses pengurusan adminstrasi hingga kampanye.
Baca juga: Dana Kampanye Minim, Driver Ojol yang Jadi Caleg DPRD DKI Sering Dimintai Sembako Saat Blusukan
“Kadang saya berpikir, makan saja terbatas, saya mau jadi calon, apalagi saya melawan namanya politik uang. Walau kita tidak pakai politik uang, tapi segala sesuatu butuh uang,” katanya.
Untuk mengakali biaya APK, Juli mengaku mendapat bantuan dari caleg lain tingkat DPR RI dan DPRD provinsi.
“Jadi pamflet, stiker dan banner-nya itu tim, dari caleg Partai Buruh di pusat dan provinsi. Kami saling berkolaborasi dalam kampanye,” katanya.
Juli pun memasang gerobak mi ayam dengan stiker sehingga saat berdagang dia bisa sambil berkampanye.
“Ada beberapa yang beli [mi ayam] bilang, ini foto bapak? Kaget mereka, memang bisa tukang mi ayam jadi caleg. Ini buktinya saya bisa, artinya tidak pakai uang ya,” kenang Juli.
“Ada juga yang bilang sok-sokan, dagang mi ayam mau jadi calon, tapi saya meyakini ini adalah proses,” katanya.
Baca juga: Cerita Rusli, Driver Ojol yang Jadi Caleg DPRD DKI Jakarta
Saya mengikuti kegiatan Juli saat dia membagikan brosur dan kaos di dekat rumahnya.
“Permisi, saya pedagang mi ayam. Saya jadi caleg, saya minta doa dan dukungannya ya. Kalau ada butuh bantuan jaminan kesehatan seperti BPJS menunggak dan pelayanan kesehatan lain, bisa hubungi saya, gratis,” katanya
Mendengar itu, seorang perempuan mengatakan, “Mudah-mudahan sukses dan jadi wakil rakyat yang amanah.”
Sementara seorang warga lain cenderung acuh.
“Tidak tahu dia [Juli] mah, tidak menyebar [kampanye]. Saya kurang tahu juga [untuk memilih Juli]. Yang dipilih juga begitu, cuma janji-janji doang, diminta tolong susah."
Baca juga: Caleg DPRD Bondowoso Jual Ginjal untuk Modal Kampanye, IDI: Tak Bisa Sembarangan
“Kalau sudah jadi, yang diangkat orang-orang dia juga. Kalau sekarang janji ini itu, giliran yang dapat, orangnya dia juga. Orang kita mana, tidak dapat,” katanya dengan nada pesimis.
Namun, di tengah pesimisme calon pemilih dan keterbatasan modal yang dimiliki, Juli tetap berharap dapat menang.
“Saya potensi menang 75-80% walau secara data baru terkumpul 150 orang yang sudah meyakinkan [untuk memilih]. Tapi orang yang saya sosialisasi sudah banyak,” tutupnya.