SEMARANG, KOMPAS.com - Bagi sebagian orang, menikmati hidangan hangat menjadi pilihan yang tepat di kala musim hujan datang.
Salah satu hidangan hangat yang bisa dinikmati di Kota Semarang adalah bubur kacang ijo. Ada warung bubur kacang ijo yang cukup legendaris dan menyajikan keasliannya sejak tahun 1968.
Namanya Burjo Sriwijaya, yang terletak di Jalan Sriwijaya Nomor 79, Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang.
Baca juga: Sejak 1930, Kuliner Legendaris Colenak Murdi Putra Bandung Masih Eksis
Beberapa panci besar berjejer di atas meja kayu. Disampingnya, ada sejumlah makanan ringan seperti gorengan, donat gula, tahu petis, telur puyuh, dan masih banyak lainnya.
Tidak hanya itu, Burjo Sriwijaya juga menjualkan mie instan dengan berbagai macam rasa.
Pemilik Burjo Sriwijaya, Ocid, menyebut, burjo yang dikelolanya itu merupakan burjo pertama yang hadir di Kota Semarang.
Dulunya, tradisi bubur kacang ijo atau burjo itu dibawa oleh kakeknya, Suranta, yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat pada tahun 1968.
"Saya generasi ketiga, cucunya Pak Suranta. Awalnya itu tahun 1968, lalu mulai ramai sejak tahun 1975-an sampai 2010. Tapi semenjak itu mulai sepi," ucap Ocid saat ditemui Kompas.com, Senin (4/12/2023).
Seiring berjalannya waktu, burjo kian merambah dan berkembang. Tidak hanya menjual bubur kacang ijo, namun juga menawarkan sejumlah hidangan berat. Seperti nasi goreng, nasi orak-arik, dan lain-lain.
Burjo Sriwijaya tak mengikuti tren yang berkembang dan tetap menjaga keasliannya.
"Dari dulu konsepnya kayak gini. Tata letak mejanya, kita juga tidak jual nasi, cuma bubur aja sama gorengan-gorengan," tutur pria kelahiran Jawa Barat itu.
Uniknya, Ocid selalu memberikan teh tawar gratis kepada seluruh pelanggannya. Alasannya, sebagai penawar rasa manis yang bersumber dari bubur kacang ijo, ketan hitam, dan santan itu.
Bahkan, setiap orang boleh berkali-kali mengisi ulang teh tawar.
"Katanya kalau habis makan manis kan enek, makanya saya kasih teh tawar saja, gratis. Di warung manapun tidak ada, cuma di sini," ungkap dia.
Satu mangkok bubur kacang ijo, imbuh Ocid, dijual dengan harga Rp 7.000. Sedangkan mie instan harga Rp 9.000 hingga Rp 12.000.
Baca juga: Brambang Asem, Kuliner Khas Solo dengan Rasa Asam Pedas
Dalam satu hari, Ocid bisa menghabiskan sekira 200 porsi bubur.
"Kalau sekarang kira-kira habis 6 kilogram (kg), itu sudah semua. Kalau dulu, paling bisa 35 kg bubur kacang ijonya aja," ungkap dia.
Meski sudah hampir tergerus zaman, Ocid berharap, kedepannya burjo asli serupa miliknya itu masih bisa bertahan mempertahankan tradisi bubur kacang ijo.
"Sekarang mulai sepi karena mungkin udah banyak saingan dan pilihan. Kan zamannya beda, jadi yang sering ke sini pasti yang tua-tua dan sudah langganan. Semoga masih bisa bertahan," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.