SEPAKU, KOMPAS.com – Usai shalat zuhur, Syarariyah (48) keluar melalui pintu samping menuju lapak usaha laundry di sebelah rumahnya. Ia pun langsung meminta kedua putrinya yang sedang membereskan cucian untuk masuk ke dalam rumah karena debu tebal.
“Debunya ngeri sekali, anak-anak enggak bisa lama main di luar,” ungkap Syara sapaan Syarariyah saat ditemui Kompas.com di kediamannya Desa Bumi Harapan Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim) belum lama ini.
Rumah yang dihuni keluarga Syara tepat di tepi jalan utama menuju lokasi proyek pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), tak begitu jauh dari titik nol IKN.
Setiap hari sejak pagi, kendaraan besar untuk proyek IKN berlalu lalang. Saat mengantar anak sekolah pun diliputi rasa was-was.
Baca juga: Presiden Jokowi Sarapan bersama Erick Thohir dan Ridwan Kamil di IKN
Syara maklum, hal itu adalah dampak dari megaproyek IKN. Namun yang membuatnya berkecil hati, warga lokal yang tak diberi perhatian dan terkesan ingin menyingkirkan warga lokal.
Beberapa tetangga Syara di RT 10 sudah pergi meninggalkan kampungnya setelah lahan dan rumah dibebaskan pemerintah untuk IKN.
Ganti rugi yang diperoleh warga hanya berupa uang, tanpa diberi lahan baru atau pun relokasi.
Setelah terima uang ganti rugi yang nilainya jauh dari harga pasaran, mau tak mau warga pergi mencari lahan yang lebih murah.
“Itu bagian atas (rumah warga) sudah selesai semua pembayaran, mereka sudah pindah. Tinggal kami ini saja, ya kalau memang sesuai (harga ganti rugi) ya kita pindah,” ucap Syara.
Syara dan suaminya hanya tunggu giliran. Rumah semi permanen yang dibangun di atas lahan 700 meter persegi itu sudah dipatok Tim Pengadaan Tanah IKN oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten PPU sejak Februari 2022 lalu.
Rumah Syara dan tetangganya Rania (58) jadi batas Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. Papan plang patok batas KIPP IKN dipatok di sela rumah kedua rumah itu.
Pemerintah terus mengebut pembangunan IKN. Mulai dari mendatangkan investor, seremoni peletakan batu pertama, pembangunan gedung pemerintah, dan tower apartemen ASN.
Namun, di luar pembangunan megaproyek itu ada masalah serius yang tak dipotret.
Sekitar 10 kepala keluarga meninggalkan Desa Bumi Harapan setelah mendapat uang ganti rugi.
Mereka menjauh dari IKN. Ada yang pindah ke Penajam, Petung Kabupaten Paser yang berbatasan dengan PPU.
“Kami kayak enggak dihargai. Kami sebagai warga lokal seperti terbuang di sini. Setelah kami diberi uang (ganti rugi), kami disuruh pergi, mau ke mana saja terserah,” kata perempuan keturunan asli suku Paser ini.
Baca juga: Pemerintah Jamin Tak Ada Penebangan Pohon pada Proyek Rusun ASN IKN
Setelah menerima bayaran, Syara dan suaminya bakal mengosongkan rumah dan angkat kaki meninggalkan desa itu juga. Tapi keduanya berupaya agar dapat lahan baru di seputaran Sepaku, supaya tak terlalu jauh dari IKN.
Nasib serupa juga dialami dua tetangganya Rania dan Teguh Prasetyo.
Teguh belum memutuskan pindah ke mana. Dia masih mencari dan berharap bisa dapat lahan di sekitar IKN.
“Jadi orang-orang khususnya RT 10 ini sebagian sudah lari ke “hutan”, dalam artian menjauh dari IKN. Pemerintah bilang, kami menikmati IKN. Itu enggak mungkin. Ini jelas-jelas kami tersingkir,” ungkap Teguh sambil menyebut beberapa nama warga di RT 10 yang sudah pindah meninggalkan desa.
Banyak warga mencari lahan jauh dari IKN agar bisa memperoleh lahan yang pas di kantong.
Pasalnya, lonjakan harga di IKN tak sebanding dengan nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah.
“Harga tanah di sini sudah Rp 2-3 juta per meter. Sementara, warga dapat ganti rugi jauh di bawah itu. Ada loh dapat yang Rp 14.000 per meter,” keluh Teguh.
Pemukiman di RT 10 Desa Bumi Harapan merupakan wilayah terdekat dengan titik nol IKN. Dari total 345,81 hektar wilayah desa ini, dinyatakan terdelianase KIPP IKN.
Di seberang jalan depan rumah Teguh, ada rumah Asin Sudarto. Asin mengaku belum masuk daftar warga terdampak KIPP IKN karena posisi rumahnya belum disebut masuk delineasi IKN.
Tim Pengadaan Tanah IKN baru membereskan rumah-rumah barisan tetangganya di seberang jalan raya, deretan rumah Teguh, Syarariyah, Rania dan lainnya pada tahap awal pembebasan.
Setelah beres, Asin menduga barulah tim menyasar ke rumahnya beserta tetangga-tetangganya.
“Lebih jauh dari itu yang pasti permukiman warga di kawasan ini bakal dibersihkan semua karena dekat sekali, ini ring satu IKN,” kata Asin.
Belum lama ini, Asin melihat ada petugas pasang patok papan plang bertuliskan akan dibangun Rumah Dinas BIN/Polri. Patok itu dipasang di depan rumahnya, di seberang jalan raya tak jauh dari rumah Teguh.
Teguh membenarkan patok papan plang itu ditanam sekitar 100 meter dari rumahnya. Tapi, beberapa hari kemudian papan plang hilang. Saat di lokasi Kompas.com, tak melihat papan plang itu.
Asin menyadari lambat laun warga sekitar ring satu IKN bakal tergusur semuanya. Sebab beberapa kali dia didatangi petugas desa maupun kecamatan minta chek surat tanah di rumahnya.
“Pernah sekali Satpol PP yang datang (minta chek surat tanah). Di rumah hanya ibu (istri) saya di luar kota. Ibu telepon, saya bilang jangan diberi tunggu saya pulang,” kisah dia.
Asin berharap pemerintah tak menggusur mereka, tapi dia sendiri juga tak yakin dengan harapan itu. Sebab warga lain satu per satu sudah pergi meninggalkan desa karena kehilangan rumah dan lahan.
Kepala Desa Bumi Harapan, Kastyiar mengaku belum mendapat laporan dari warganya di RT 10 sudah meninggalkan desa.