SENGKETA lahan di Pulau Rempang, Batam, hari-hari ini sudah usai untuk sementara. Sekitar dua-tiga minggu yang lalu, media massa nasional memberitakan tragedi tidak biasa di pulau yang sehari-hari sepi nan damai itu.
Ada dua kejadian yang menjadi berita besar. Pada Kamis (7/9/2023), aparat keamanan menembakkan gas air mata kepada ratusan warga yang menghadang petugas.
Saat itu, petugas akan masuk ke kampung-kampung adat di Pulau Rempang untuk melakukan pendataan lahan terkait dengan proyek Rempang Eco City (REC).
Sebelumnya, diberitakan warga melempari petugas dengan batu dan botol kaca sebagai ungkapan penolakan dan kemarahan terhadap aparat.
Warga merasa terintimidasi dengan keberadaan pos-pos pengamanan di kampung-kampung masyarakat Melayu asli di Pulau Rempang.
Tembakan gas air mata untuk mengendalikan massa memaksa warga untuk berhamburan menyelamatkan diri.
Belasan murid SD dan SMP terkena semburan gas yang selongsongnya jatuh di dekat sekolah. Petugas menangkap puluhan orang yang diduga provokator.
Empat hari kemudian (11/9/2023), seribu orang lebih warga mendatangi kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, untuk menyatakan penolakan mereka terhadap rencana merelokasi penduduk kampung adat di Pulau Rempang.
Unjuk rasa berlangsung ricuh, beberapa pendemo dan aparat terluka, kantor BP Batam mengalami kerusakan.
Penembakan gas air mata itu cukup mengejutkan, karena peristiwa serupa belum hilang dari memori publik, yaitu tragedi Kanjuruhan di Malang (1/10/2022).
Saat itu ribuan penonton di dalam stadion sepak bola lintang pukang terkena tembakan gas air mata petugas, akibatnya seratus lebih orang meninggal dunia karena terinjak-injak.
Mengapa penembakan gas air mata dilakukan lagi untuk menghadapi warga yang menolak kedatangan petugas di Pulau Rempang yang jauh dari keramaian itu? Beruntung tidak ada korban nyawa, sehingga demo yang lebih besar tidak terjadi.
Tidak adakah cara lain untuk mencari titik temu dari perbedaan persepsi yang ada antara BP Batam dan warga yang rumahnya akan digusur?
Bukankah proyek-proyek strategis pemerintah berskala besar lain umumnya berjalan dengan mulus tanpa terjadi kekacauan yang menghebohkan?
Proyek pengembangan kawasan khusus di Pulau Rempang dirintis pada 2004, dengan perjanjian kerjasama antara PT. Makmur Elok Graha (MEG) dengan Badan Otorita Batam, dan Pemerintah Kota Batam.
Namun tidak ada kegiatan lanjutan setelah itu, sampai kemudian terjadi perkembangan yang signifikan sejak awal tahun ini.
Pada 12 April 2023, rencana pengembangan Pulau Rempang bernama Rempang Eco City diumumkan kepada publik di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.
Disebutkan oleh Menteri Koordinator bahwa Pulau Rempang diharapkan akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi daerah.
Sebagai langkah awal, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyerahkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada BP. Batam pada forum yang sama.
Proyek skala besar dengan investasi tiga ratusan triliun rupiah secara bertahap dan membuka ribuan lapangan kerja itu kemudian termasuk dalam daftar terbaru Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan oleh Menko Perekonomian pada 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menko Bidang Perekonomian No 7/2023.