PADANG, KOMPAS.com - Mantan Direktur RSUD Pasaman Barat, Sumatera Barat Yuswardi mempertanyakan penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi RSUD Pasbar yang dilakukan BPKP Sumbar.
"Kerugian negara yang dituntut JPU yang ditetapkan auditor BPKP Sumbar sebesar Rp 16 miliar lebih, tidak bisa digunakan lagi sebagai penghitungan kerugian negara," kata Yuswardi saat membacakan pleidoi atau pembelaan dalam lanjutan sidang korupsi RSUD Pasbar, di PN Tipikor Padang, Selasa (15/8/2023) malam.
Yuswardi menyebutkan alasan penghitungan itu dikarenakan dalam fakta persidangan terungkap ahli kuantitas bangunan Martalius Peli sudah mencabut BAP soal mark up harga satuan yang dijadikan dasar penghitungan kerugian negara oleh BPKP.
Lalu, ahli kualitas gedung Khadafi menyebutkan secara kualitas tidak ditemukan deviasi atau penyimpangan dalam proyek itu.
Baca juga: Pleidoi Eks Direktur di Sidang Korupsi RSUD Pasaman Barat: Saya Dilema, Mohon Dibebaskan
"Kemudian ahli auditor forensik Mukhamad Sonhadi dalam kesaksiannya secara tegas mengatakan Laporan Hasil Audit (LHA) cacat jika tidak dilakukan supervisi dan lebih parah lagi, penghitungan kerugian negara tidak boleh menggunakan tekni sampling seperti yang digunakan dalam LHA RSUD Pasbar itu," jelas Yuswardi.
Yuswardi mempertanyakan berkas tuntutan JPU yang dinilai sangat subjektif karena tidak melampirkan fakta persidangan yang terungkap.
"JPU mendalilkan saya secara sendiri dan bersama-sama merugikan negara sebesar Rp 16 miliar lebih, tapi fakta persidangan kerugian ini tidak bisa dipakai lagi," kata Yuswardi.
Dokter spesialis bedah itu juga menyorot perlakuan penyidik kejaksaan yang dinilai tidak manusiawi dan melanggar HAM selama proses penyidikan kasus.
"Pada 28 Juli 2022 saya memenuhi panggilan penyidik kejaksaan sebagai saksi, setelah di-BAP saya langsung ditetapkan sebagai tersangka," kata Yuswardi.
Lalu, dirinya mengajukan penangguhan tahanan namun ditolak dengan alasan takut melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan.
"Alasan tidak masuk akal karena saya jelas profesi dan alamat serta ditanggung keluarga. Tapi jaksa tetap menolak," jelas Yuswardi.
Menurut Yuswardi, selama penahanan dirinya sering keluar masuk rumah sakit dan tetap dipaksa melayani pemeriksaan kejaksaan.
"Saya sempat mengalami serangan jantung. Saya tidak habis pikir kemana hak saya sebagai WNI yang dijamin hak kesehatan, apakah hal ini perlu saya adukan ke Komnas HAM," kata Yuswardi.
Yuswardi berharap keadilan dari tangan majelis hakim sebab dirinya tidak bersalah.
Menjalankan tugas sebagai direktur karena perintah atasan. Secara teknis tidak mengetahui persoalan bangunan dan hukum.