KOMPAS.com - Masyarakat Bali memiliki minuman khas yang memiliki banyak manfaat. Namanya adalah loloh cemcem.
Minuman sehat ini bisa didapatkan di Desa Panglipuran, Bangli, Bali yang dikenal sebagai desa adat terbersih sedunia.
Desa Penglipuran punya lahan seluas 112 hektare dengan hunian sekitar 230 KK. Sebagian lahan desa adalah hutan bambu yang resik terjaga.
Loloh cemcem mirip beras kencur atau kunyit asam di masyarakat Jawa yang diminum ketika dahaga atau saat tak enaka badan.
Baca juga: Toleransi di Sepiring Sate Kerbau di Kota Kudus
Buahnya berbentuk lonjong berwarna hijau kekuningan. Tapi yang dipakai untuk minuman adalah daunnya.
Oleh warga desa, daun tanaman cemcem yang tumbuh liar di kebun ditumbuk hingga halus. Lalu diberi asam, gula aren, daun sirih, sedikit cabai dan irisan daging kelapa muda. Ada juga yang menambahkan kayu manis.
Baca juga: Penglipuran, Desa Wisata Bali dengan Sederet Penghargaan
Setelah dicampur air dan dimasak, minuman ini didinginkan dan disaring. Loloh siap dikemas dalam beberapa botol bekas kemasan air mineral.
Warna loloh cemcem adalah hijau segar seperti jus sayur dengan rasa nano-nano; ada rasa kecut, pedas, sepat, asin, manis dan sedikit sensasi pahit.
Loloh cemcem bisa disajikan hangat. Namun banyak yang suka mengkonsumsimnya dalam keadaan dingin karena terasa segar.
Penduduk desa Penglipuran mengolah dan menjual loloh cemcem di beberapa sudut desa untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan yang datang ke desa itu.
Harganya hanya Rp 5.000 - Rp 6.000 per botol dan hanya tahan selama 1-2 hari di suhu normal atau seminggu jika diletakkan di lemari es.
Baca juga: Mahasiswa Unair Ubah Bunga Telang Jadi Skincare, Ini 3 Khasiatnya
Semua bahan (kecuali jeruk nipis) direbus kemudian disaring dan didinginkan, kemudian diberi air perasan jeruk nipis. Loloh teleng (loteng) berwarna biru dengan rasa yang segar
Selain loteng, warga juga memproduksi loloh kiam bwee, berbahan dasar buah plum berdasar rekomendasi wisatawan yang berkunjung ke sana.
Baca juga: Sepiring Rabeg Makanan Kecintaan Sultan Banten, tentang Kenangan Kota Kecil di Tepi Laut Merah