Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Barongsai Itu Wujud Persatuan Indonesia...

Kompas.com - 04/02/2019, 13:58 WIB
Farida Farhan,
Farid Assifa

Tim Redaksi

KARAWANG, KOMPAS.com - Atraksi barongsai seolah wajib hadir dalam setiap perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Kehadirannya dipercaya menjadi penangkal mara bahaya.

Tabuhan tambur, kenong dan genjreng menjadi satu paket yang tak terpisahkan saat "liong dan naga" ini beraksi.

Giok Tseng, pendiri Klub Rajawali Dragon Dance Karawang (RDDK) menyebut, barongsai sebagai simbol persatuan dan kekompakan.

Menurutnya, barongsai bukan lagi hanya budaya milik masyarakat keturunan Tionghoa. Sebab, para pemainnya berasal dari latar belakang suku dan agama yang berbeda.

"Barongsai warisan budaya milik bersama. Pemainnya tidak hanya dari masyarakat keturunan Tionghoa, juga ada yang dari latar belakang agama yang berbeda. Barongsai itu wujud persatuan," kata Giok Tseng ditemui Kompas.com saat memandu latihan atraksi barongsai di Vihara Budha Dharma, Minggu (3/2/2019).

Baca juga: Tulis Status tentang Barongsai di Facebook, Seorang Pria Ditangkap

Giok Tseng mengatakan, barongsai dianggap sebagai penangkal marabahaya. Sehingga, tidak heran jika atraksi barongsai selalu menghiasi setiap perayaan Imlek.

"Sebagai pengusir makhluk-makhluk, penangkal marabahaya," katanya.

Untuk menjadi pemain barongsai, katanya, yang terpenting adalah kemauan. Sebab, kemauan merupakan pangkal dari keterampilan lain yang dibutuhkan dalam sebuah "tarian" barongsai.

"Yang pertama dan terpenting itu kemauan. Asal sudah suka, ada kemauan, keterampilan lain bisa diasah," ujarnya.

Sementara simbol kekompakan tercermin pada penyelelarasan gerakan pemainnya. Biasanya, ada sekitar 10 pemain yang membawa liong sepanjang 10 meter, berikut bola apinya. Namun, Giok Tseng mengatakan, panjang liong ini berupa-rupa, tidak ada patokan khusus.

"Ini fungsi latihan, juga itu tadi, kemauan," sebutnya.

Suka duka

Lelaki berumur 59 tahun yang hobi bermain barongsai sejak kecil ini bercerita perihal pendekatannya kepada kaum milenial untuk tetap melanjutkan warisan budaya tersebut. Anggota klubnya yang kini mencapai 82 orang itu kebanyakan didominasi kaum milenial.

"Kita harus melakukan pendekatan, saling menghormati. Meskipun lebih tua, harus tetap menghormati yang muda," katanya.

Selama 10 tahun perjalanan klubnya, Giok Tseng menceritakan suka dan dukanya, mulai dari kebanjiran job, hingga sebaliknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com