Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Gerhana Bulan Total Menurut Tradisi Jawa

Kompas.com - 31/01/2018, 15:00 WIB
Labib Zamani,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.comGerhana bulan total akan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia pada Rabu (31/1/2018) malam. Ini merupakan fenomena langka karena bulan menunjukkan tiga fenomena sekaligus, yaitu supermoon, blue moon, dan gerhana bulan, yang dijuluki NASA sebagai fenomena super blue blood moon.

Fenomena alam ini pun memunculkan beragam mitos di beberapa wilayah, salah satunya di Jawa. Budayawan asal Solo, Mufti Raharjo, menceritakan, dalam masyarakat Jawa, apabila terjadi fenomena gerhana bulan maupun matahari, masyarakat harus prihatin. Terlebih lagi terjadinya gerhana bulan total.

Sebab, garis titik antara bulan dan bumi yang sama-sama memiliki daya tarik gravitasi bergaris lurus dengan matahari dalam posisi tata surya. Jadi, daerah yang terkena dampak dari gerhana bulan total tersebut harus waspada dan berhati-hati. Fenomena itu akan mengakibatkan gelombang pasang di samudra atau laut.

"Pada saat terjadi tarik-menarik yang terlalu kuat bilamana dasar bumi yang dilalui gelombang pasang maka rentan dan tidak kuat, dasar bumi akan pecah. Sehingga, dulu dalam primbon-primbon lama, hati-hati pas ono (kalau ada) gerhana bulan purnama. Biasanya air laut pasang," kata Mufti kepada Kompas.com di Solo, Jawa Tengah, Rabu.

Oleh sebab itu, nenek moyang orang Jawa, kata Mufti, meminta kepada masyarakat untuk prihatin atau mengadakan tirakatan memohon kepada Tuhan untuk diberikan keselamatan apabila terjadi gerhana bulan total. Konon, masyarakat zaman dahulu memercayai bahwa gerhana bulan total bisa menimbulkan gempa bumi dahsyat.

Budayawan asal Solo, Mufti Raharjo.KOMPAS.com/Labib Zamani Budayawan asal Solo, Mufti Raharjo.
"Karena daya tarik bulan ini sangat kuat sekali sehingga air laut ditarik ke bulan. Kalau dasar laut tanahnya itu enggak kuat, bisa pecah. Jadi, bisa membuat gempa bumi yang besar," bebernya.

Baca juga: Sambut Gerhana Bulan, Warga Semarang Akan Tabuh Beduk dan Gelar Brokohan

Jadi, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, masyarakat zaman dahulu membunyikan kentongan, memukul lesung, dan shalat gerhana. Bahkan, kalau ada wanita yang hamil harus mengusap perutnya menggunakan merang padi.

"Mengusap merang padi adalah sebagai simbol dan proses penyucian diri dan janin yang dikandungnya. Selain itu, untuk sebuah pengharapan agar semuanya diberikan keselamatan, terhindar dari segala hal yang tidak baik," ujar Mufti.

"Itu cara tradisional untuk berinteraksi dengan alam. Tujuan utamanya adalah agar alam ini tetap harmonis, tidak terjadi apa-apa, dan mencari keselamatan. Secara ilmiah, secara tradisi itu bisa sinkron," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Astronomi Assalaam AR Sugeng Riyadi mengungkapkan, fenomena gerhana bulan total terjadi setiap tahun atau dua tahun. Pada tahun 2018, gerhana bulan terjadi sudah dua kali.

"Hanya, kalau momen gerhana bulan total plus blue dan super moon fleksibel. Dengan aplikasi bisa dihitung dan fenomena itu (gerhana bulan total super moon) akan terjadi kembali pada 31 Januari 2037," ungkap Sugeng. 

Kompas TV Pada Rabu, 31 Januari 2018, Anda bisa menyaksikan peristiwa yang langka ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com