BENGKULU, KOMPAS.com - Gubernur Bengkulu non aktif, Ridwan Mukti, menjalani sidang perdana dalam perkara dugaan suap, Kamis (12/10/2017) di Bengkulu. Agenda sidang perdana mendengarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU disebutkan bahwa dalam pertemuan dengan para kontraktor pemenang proyek di Kantor Gubernur Bengkulu, pada 5 Juni 2017, Ridwan Mukti sempat marah besar kepada para kontraktor yang dianggap kurang patuh.
“Saya ini ikut pilkada berdarah-darah, habis ratusan miliar. Emang kalian di mana selama ini? Jangan-jangan kalian lawan, bukan pendukung saya? Kenapa enggak pamit sama saya? Saya ini mantan pengusaha dan sudah dua periode jadi bupati. Ini sekarang saya jadi gubernur, saya penguasa di Bengkulu,” ujar JPU menirukan Ridwan saat membacakan dakwaan.
Dalam dakwaannya, JPU memastikan bahwa koordinasi pungutan fee proyek 10 persen atas instruksi Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti yang disampaikan ke istrinya Liliy Madari.
Baca juga: Gubernur Bengkulu Akui Meminta Istrinya Cari Kontraktor
JPU menuntut agar Ridwan Mukti dijerat dengan pasal 12 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU nomor 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Di pengadilan usai mendengar dakwaan yang dibuat jaksa, Ridwan menyebut dakwaan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ia pahami.
“Saya tidak mengerti apa maksud dari dakwaan. Hanya sedikit saja isi dakwaan itu yang saya pahami,” sebut Ridwan Mukti.
Sidang perdana ini mengagendakan pembacaan dakwaan oleh Tim JPU. Dimana ada 4 orang penuntut umum KPK, yakni M Helmi Syarif, Haerudin, Dian Hamisena, dan Putra Iskandar.
Sementara itu Maqdir Ismail, penasihat hukum Ridwan Mukti, menganggap JPU memaksakan keterlibatan Ridwan Mukti dari kasus suap yang dilakukan istrinya Lilly Madari.