Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Unjuk Rasa, Nelayan Dirikan Dapur Umum di Depan Kantor PN Meulaboh

Kompas.com - 09/05/2017, 18:04 WIB
Raja Umar

Penulis

MEULABOH, KOMPAS.com - Nelayan tradisional di Kabupaten Aceh Barat mendirikan dapur umum di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Aksi ini dilakukan nelayan untuk mengawal proses persidangan enam rekan mereka yang ditangkap Polisi Air Polres Aceh Barat akhir Maret lalu karena diduga menggunakan jaring alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan. Nelayan mendesak agar enam rekan mereka segera dibebaskan.

“Aksi ini merupakan lanjutan yang kemarin. Kami akan terus bertahan di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh ini hingga majelis hakim menolak tuntutan jaksa terhadap enam rekan kami," kata Indra Jeumpa, koordinator aksi kepada wartawan, Selasa (19/05/17).

Baca juga: Tuntut Rekannya Dibebaskan, Nelayan Aceh Barat Sandera Mobil Tahanan

Indra menjelaskan, dapur umum terpaksa didirikan langsung di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh untuk memasak berbagai bekal makananan bagi massa yang terus bertahan di depan kantor Pengadilan, karena para ibu-ibu nelayan yang ikut dalam barisan aksi demosntarasi banyak yang membawa anak kecil dan balita.

Dapur umum ini didirikan untuk bekal makanan, khususnya kita sediakan untuk kaum ibu dan anak-anak yang ikut dalam aksi, karena kalau enam rekan kami belum dibebaskan, kami akan terus melakukan aksi," katanya.

Ratusan nelayan tradisional yang melakukan aksi itu berorasi secara bergantian mendesak agar majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh menolak seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap rekan mereka yang dinilai tidak berprikeadilan dan mendesak agar para terdakwa segera dibebaskan.

Aksi domostrasi nelayan mendapat pengawalan ketat aparat dari Polres Aceh Barat. Bahkan, massa tidak dibolehkan masuk ke halaman dan ruang sidang.

“Kami menuntut agar majelis hakim membatalkan dakwaan jaksa penuntut umum, karena nelayan kecil seperti kami dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 2 milliar, padahal barang bukti ikan waktu ditangkap hanya berapa kilo, kalau dijual uangnya hanya Rp 100.000, kemudian kami juga tahu mana jaring yang disebut merusak lingkungan,” jelasnya.

Sementara itu, Herman SH, kuasa hukum dari LBH Banda Aceh Pos Meulaboh menilai, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap enam nelayan kliennya itu tidak berperikemunisiaan dan tidak miliki landasan hukum yang jelas serta tidak sesuai dengan surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, ia mengajukan nota keberatan terhadap dakwaan JPU.

“Hari ini sidang pembacaan nota keberatan terhadap klien kami, karena tuntutan dari Jaksa itu jelas-jelas bertentangan dengan surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan, yang mana peraturan itu mulai berlaku sejak 3 Januari 2017, dan ada masa jeda selama enam bulan. Artinya, saat ditangkap masih dalam masa jeda atau melakukan sosialisasi kepada nelayan terhadap jaring alat tangkapan ikan untuk diganti kalau yang menggunakan tidak ramah lingkungan, bukan malah Polisi Air melakukan penangkapan," katanya.

Baca juga: Cak Imin: "Pak Polisi, Nelayan Jangan Dianggap Musuh"

Herman merinci, enam nelayan tradisional di Aceh Barat yang ditangkap Polisi Air Polres Aceh Barat pada Kamis (23/03/17) itu antara lain Yuli Saputra (31), Bahtiar (37), Erfin (36), Aliman (52), M Mizar (34), dan M Din (56).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com