Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi Sebut Konservasi Bisa Jadi Bumerang untuk Nelayan Lembata

Kompas.com - 07/02/2017, 10:01 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com - Koordinator divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT), Umbu Tamu Ridi menyebut program konservasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bisa menjadi bumerang bagi masyarakat tradisional di Lamalera, Kabupaten Lembata, NTT yang selama ini menangkap paus dan ikan pari manta.

Hal itu disampaikan Umbu Tamu terkait penangkapan terhadap warga Kabupaten Lembata yang bernama Goris Krova pada Desember 2016 lalu, karena menangkap dan menjual insang ikan pari manta.

Menurut Umbu Tamu, konservasi privatisasi pesisir dan privatisasi kelautan merupakan upaya pemerintah untuk menutupi ruang gerak nelayan tradisional di wilayah Lembata khususnya Lamalera yang selama ini sudah dikenal luas oleh masyarakat dunia dengan budaya menangkap paus.

“Kemarin kasus itu sudah ada pemberhentian penyidikan, karena sudah ada tuntutan dari sejumlah pihak. Awalnya pada saat diperiksa polisi, masyarakat setempat ribut soal itu dan melakukan upaya perlawanan karena itu merupakan tradisi yang perlu dijaga. Konservasi itu merupakan bumerang bagi nelayan tradisional terutama dalam proses penangkapan ikan pari ini,” kata Umbu Tamu kepada sejumlah wartawan, Selasa (7/2/2017) pagi.

Karena itu kata dia, Walhi NTT meminta bagaimana program konservasi dilakukan pada 2014 sampai 2019, harus mempertimbangkan aspek kearifan lokal pada masyarakat. itu yang menjadi acuannya terutama pada masyarakat di Lamalera.

Umbu Tamu menyebut, bukan hanya wilayah konservasi yang dilihat, tapi ada penghasilan ada proses ekonomi dan nilai budaya sehingga itu yang perlu dilihat. Jadi privatisasi konservasi itu jangan hanya dilihat dari konservasi tapi juga harus dilihat dari sisi tradisional dan pola konservasi versi lokal.

“Pola konservasi versi lokal itu yakni mereka (para nelayan) tidak membunuh paus dan pari manta. Mereka tentu melihat mana binatang yang layak dibunuh atau tidak. Ini tentu harus diperhitungkan oleh pemerintah,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com