Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi di Tanah Intoleran (3)

Kompas.com - 18/11/2016, 16:07 WIB
Reni Susanti

Penulis

PURWAKARTA, KOMPAS.com – Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bergegas. Ia mempercepat langkahnya dengan wajah yang terlihat kesal.

“Terserah agama mereka apa, tugas kita sebagai pemerintah adalah menguruskan KTP mereka. Mereka harus punya KTP, KK, akta kelahiran, akta nikah, dan berbagai catatan kependudukan!” ucapnya dengan nada tinggi kepada sejumlah pejabat di Cimahi, beberapa waktu lalu.

Kekesalan Dedi memuncak ketika mendapat kabar sekelompok penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cireundeu, Cimahi, belum mengantongi identitas kependudukan akibat agama leluhur yang dianutnya. Padahal Cimahi dipimpin oleh Golkar yang berada di bawah naungannya.

“Banyak alasan mengapa saya membela penganut agama leluhur,” tutur Dedi.

Baginya, penganut agama leluhur adalah penjaga adat, tata nilai, tata kelola alam, dan bahasa. Bahasa daerah buat mereka bukan hanya sekedar bahasa manusia, tapi bahasanya dengan Tuhan.

Begitupun dengan lingkungan. Contohnya Cipta Gelar Sukabumi, dan Baduy Banten, merekalah yang menjaga hutan-hutan tersebut. Jika agama mereka hilang, maka bahasa pun bisa hilang. Habitatnya bisa hancur, hutan hancur, dan sumber air pun akan hancur.

“Karena kita butuh mereka, keyakinan mereka harus kita lindungi. Selama puluhan tahun mereka hidup menderita. Mereka tidak punya KK, KTP, akte kelahiran, akte nikah. Mereka menjadi penduduk ilegal di negeri ini yang tidak mempunyai hak-hak pribadi,” tegasnya.

Itulah mengapa, 2015 lalu dirinya menyurati Presiden Jokowi dan meminta agama leluhur diakui negara.

(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (1))

Pelihara budaya

KOMPAS.com/RENI SUSANTI Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memegang cepot, salah satu karakter dalam wayang Sunda.
Dedi mengaku tidak peduli dengan anggapan orang bahwa dirinya terlalu Sunda Wiwitan dan mengarah ke hinduisasi. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan olehnya seperti patung, kain poleng, itu tak lebih dari sekedar budaya.

“Saya ini menjual budaya sebagai ikon Purwakarta. Saya membuat patung sebagai estetika bukan untuk disembah,” tuturnya.

Jika pengkritik tersebut konsisten, seharusnya jangan patung pewayangan saja yang dipersoalkan, patung pahlawan, patung Harimau Lodaya di Kepolisian juga tidak boleh ada.

Begitu pun anggapan wajah Purwakarta seperti Bali. Dari hasil penelusurannya dengan mengumpulkan akademisi, peninggalan peradaban Sunda hampir tidak ada. Hanya ada beberapa situs.

“Dalam pertemuan tokoh Sunda dan Bali, disebutkan Bali itu Sunda kecil. Sunda besarnya berada di tanah Sunda,” tuturnya.

Sebenarnya, sambung Dedi, yang dikhawatirkan pengkritiknya bukan Bali, tapi Hinduisasinya.

“Bali bukan Hindu. Bali adalah Bali. Justru kita ini harus bangga pada orang Bali. Orang Bali berhasil melakukan balisasi Hindu,” tuturnya.

Karena kebijakannya tersebut, Dedi mengaku, ancaman kerap menghampiri. Bahkan setelah ia mengeluarkan surat edaran, ancaman dari beberapa daerah semakin menjadi.

“Enam bulan lalu saat perjalanan ke Garut, mobil belakang dilempar batu. (Mobil) depan dihantam, dan mobil saya dikejar 25 orang mengendarai motor sambil bawa pedang,” tuturnya.

Pernah juga di Bandung Barat ia dicegat 50 orang. Mereka tidak bicara, tapi memukuli mobil. Untungnya, pada dua kejadian tersebut, ada polisi.

“Surat edaran ini sebenarnya didukung banyak pihak. Tapi dukungannya dalam diam. Sebagai seorang pemimpin, saya harus tegak di tengah hujan batu,” ucapnya.

 

Perhatikan pengganti Dedi

Pemerhati Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, dalam pemerintahannya, Dedi mengintegrasikan budaya dan agama, dalam pola hubungan antar masyarakat.

“Secara prinsipil (itu) basis dari kebhinekaan. Pancasila mengajarkan toleransi, dan lain-lain. Persoalannya, secara personal Dedi kerap memperlihatkan dirinya mengarah ke Sunda Wiwitan meskipun ia seorang muslim. Sehingga orang melihat Dedi bukan penganut agama yang baik,” tuturnya.

Selama ini, orang-orang di Purwakarta tidak berani melawan Dedi karena dirinya banyak membantu dan ia memiliki power sebagai penguasa. Namun setelah tidak berkuasa, orang-orang yang diam selama ini bisa bergerak melakukan perlawanan.

“(Tugas) Satgas harus merasionalisasikan hal ini. Saat ini, orang takut (pada Dedi). Tapi begitu dia enggak jadi (turun dari bupati/gagal jadi Gubernur), orang berani menolak,” tuturnya.

Seperti di Bekasi. Di bawah pimpinan orang PDIP, Bekasi memiliki patung. Begitu pemimpinnya diganti oleh orang yang lebih agamis, patung langsung dihancurkan.

“Kalau itu terjadi (di Purwakarta), secara prinsip dia enggak berhasil. Orang menunggu waktu. Karenanya, dia harus berpikir pengganti dia harus yang seirama dengan apa yang dia lakukan sekarang,” tuturnya.

KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menghadiri acar seren taun di Kampung Adat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, pada Sabtu (24/9/2016) malam.
Gayanya ini bisa menjadi role model jika dia mampu merasionalisasikan apa yang menjadi program atau sesuatu yang ditawarkan kepada publik.

Sementara itu, pengamat Komunikasi Politik dari Unpad, Suwandi Sumartias mengatakan, kebijakan surat edaran itupun lebih pada politik. Hanya partai-partai tertentu saja yang mendukung dia. Tapi kelompok partai yang relatif fundamentalis, sebenarnya memisahkan diri.

“Masalahnya, di kalangan ulama sendiri ada beberapa yang pragmatis. Tatkala iming-iming secara ekonomi, bantuan dana untuk pesantren, (menjadi) berbalik. Dan ini bukan sejarah baru. Karena di politik Orde Baru juga demikian. Bagi mereka, politik adalah transaksi,” imbuhnya.

Meski demikian, kebijakan yang dilakukannya tetap bisa menghasilkan suara. Karena tokoh-tokoh yang berbasis budaya maupun agama tentunya mempunyai massa. Walaupun memang di Jawa Barat, ulama menjadi vote getter untuk mendulang suara.

“Cuma apakah jangan-jangan karena ini transaksional, tujuan politik tidak kena. Lagi-lagi, demokrasi Indonesia  itu belum siap,” ungkapnya.

(Baca juga: Toleransi di Tanah Intoleran (2))

Dukungan dari Masyarakat

“Saya setuju toleransi. Itu memang harus digalakan, bagaimana masyarakat tidak menganggap perbedaan sebagai hal yang luar biasa. Dan itu sudah terjadi di Purwakarta, kami orang yang toleran,” tutur Teti Kusmiati (25) warga Campaka, Kabupaten Purwakarta.

Namun ia berharap, toleransi yang digembar-gemborkan tidak mengarah pada pendangkalan akidah seperti yang dikhawatirkan sebagian orang. “Islam ya Islam, Kristen ya Kristen, tetap pada jalannya masing-masing, tapi kami saling menghormati dan hidup berdampingan,” ungkapnya.

Dukungan pun datang dari para tokoh agama. Seksi Hubungan antar Agama (Hag), Gereja Yos Sudarso Purwakarta, Zakarias Kayus mengatakan bahagia dan bangga jadi warga Purwakarta yang menjunjung toleransi.

“Purwakarta kota damai, bermasyarakat, dan indah. Kami tidak tahu apa agama mereka, begitupun mereka. Kehidupan kami sehari-hari indah, tidak terlihat adanya perbedaan,” ujarnya.

Sebagai penganut Katolik, Zakarias mengaku, tidak mengalami diskriminasi. Padahal masyarakat Purwakarta didominasi muslim. Apalagi dalam acara keagamaan, muslim maupun agama lainnya kerap membantu menyukseskan acara Katolik.

Ia teringat saat tabligh akbar beberapa waktu lalu. Ia dan tokoh agama yang lain satu mobil berkeliling Purwakarta. Dan di saat Natal, semua tokoh berbagai agama ikut mengamankan bersama TNI, Polri, dan LSM seluruh agama.

“Semakin betah hidup di Purwakarta. Semuanya enak. Kalau ada masalah, didiskusikan dan mencari win-win solution. Kalau ada pandangan negatif terhadap agama lain, kami memberikan pengertian bukan itu maksudnya,” terangnya.

Salah satu keberhasilan toleransi di Purwakarta adalah ketika kabupaten tersebut mengadakan acara besar yang dihadiri puluhan ribu orang. Setiap acara tersebut tidak pernah ada gesekan. Karena semua pihak merapatkan barisan dan mendukung kesuksesan acara.

“Ulang tahun Purwakarta, Lebaran, Natal, semua pestanya muslim, pestanya Katolik,” imbuhnya.

Acep Munawar, pengurus Pondok Pesantren Al Hikamus Salafiyah mengatakan, sama dengan pesantren NU lainnya, konsep pesantrennya untuk menjaga kemaslahatan ummat, kebhinekaan dan ke-Indonesia-an.

“Coba cek sekarang yang demo, dari pesantren bukan? Jawabannya bukan. Bisa dibedakan mana yang santri dan mana yang bukan,” tuturnya.

NU, sambung Acep, berdakwah dengan cara yang santun. Bahkan para kiai berdakwah dengan penuh toleransi, bukan provokasi. Kalau bernada provokasi, dikhawatirkan Indonesia akan seperti Suriah.

“Kami mengajarkan ngaji, bersosial. Bahkan jangankan orang Islam, kalau kita punya makanan, maka kita wajib memberi kepada tetangga kita yang non muslim. Apalagi jika mereka dalam keadaan kelaparan,” imbuhnya.

Begitupun dengan tokoh agama Hindu, I Made Kandhi. Ia mengungkapkan, dalam keseharian dirinya menebarkan toleransi dan kedamaian. Karena dalam ajarannya pun, Hindu mengajarkan toleransi.

Toleransi ini perlu dijaga karena Indonesia sangat majemuk.

Seperti yang disampaikan founding father Indonesia, Soekarno:

Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

 

TAMAT

 

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Reni Susanti, kontributor Kompas.com di Bandung, sebagai pemenang program Fellowship Liputan Keberagaman 2016 yang diinisiasi oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com