Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusakan Gambut Indonesia Tak Sebesar Tuduhan Luar Negeri

Kompas.com - 28/10/2016, 17:38 WIB

Tim Redaksi

BOGOR, KOMPAS - Guru Besar Institut Pertanian Bogor Profesor Supiandi Sabiham mengatakan bahwa kerusakan gambut di Indonesia tidaklah sebesar yang disangkakan oleh dunia internasional.

Hal itu disampaikan oleh Supiandi, yang kembali terpilih menjadi Ketua Umum Himpunan Gambut Indonesia (HGI) periode 2016-2020, dalam Kongres ke-7 HGI, Kamis (27/10/2016) malam di Bogor, Jawa Barat.

Pencalonan Supiandi sebagai Ketua Umum HGI sebenarnya sudah santer dibicarakan peserta kongres yang berlangsung sejak 26 Oktober 2016.

Rival yang diperkirakan bakal bersaing awalnya adalah Guru Besar Universitas Gajah Mada Profesor Azwar Maas yang selama ini bergabung dalam lembaga Badan Restorasi Gambut. Namun pada saat malam pemilihan, Azwar batal mencalonkan diri.

Persoalan gambut tropis Indonesia merupakan isu yang sangat seksi di dunia internasional. Kritik dan hambatan perdagangan produk kelapa sawit, bubur kertas, dan kertas Indonesia di luar negeri kerap dikaitkan dengan pengelolaan gambut yang kurang baik selama ini. HGI diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan Indonesia ke depan.

Setelah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum HGI, Supiandi menyatakan akan berupaya membenahi persoalan ke dalam dan luar. Di dalam negeri, ada persoalan aturan pemerintah yang dirasakan menghambat oleh dunia usaha.

"Adapun ke luar kami akan melakukan riset untuk mendukung diplomasi bahwa tuduhan luar negeri atas kerusakan gambut Indonesia tidaklah sebesar seperti yang disangka selama ini," kata doktor ilmu gambut lulusan Universitas Kyoto Jepang tersebut.

Dalam seminar yang merupakan satu kesatuan dengan acara kongres, salah satu permasalahan yang hangat dibicarakan adalah ketentuan pemerintah tentang ketinggian muka air gambut lahan budidaya yang dipatok tidak boleh melebihi 40 cm.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 71/2014 tentang Gambut. Perundangan itu dipandang tidak memiliki dasar keilmuan yang kuat dan hampir tidak mungkin dapat dilakukan di lapangan.

Ketingian muka air 40 cm juga dinilai mengabaikan kondisi riil di lapangan serta riset keilmuan HGI selama ini. Untuk itu HGI telah meminta pemerintah untuk merevisi aturan itu.

"Kami mengusulkan agar muka air gambut itu dapat diturunkan menjadi 80 cm dari permukaan tanah," kata Supiandi.

Untuk diplomasi ke luar negeri, HGI sudah melakukan upaya bekerja sama riset dengan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika, EPA (Environmental Protection Agency).

Untuk mendukung riset itu HGI dibantu oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri.

"Saya kira kita perlu melakukan riset dengan pola berbeda dari sebelumnya. Riset yang akan kami lakukan adalah riset untuk keperluan diplomasi. Selama ini kita sangat lemah dalam diplomasi di luar negeri," kata Supiandi.

Ia mengatakan, kerja sama dengan EPA lebih dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pandangan pakar asing tentang kerusakan lingkungan atau emisi karbon pada gambut budidaya di Indonesia tidak sebesar seperti yang dituduhkan.

Menurut Supiandi, kajian tentang kerusakan gambut tropis Indonesia sekarang ini sudah jauh melenceng dari kaidah-kaidah ilmu pengetahuan murni.

Kampanye negatif kerusakan gambut acapkali dikaitkan dengan kelapa sawit dan tanaman industri kehutanan. Kampanye itu lebih terkait persoalan ekonomi internasional.

"Banyak pakar kita yang sudah melakukan penelitian bahwa persoalan gambut apabila ditinjau dari sudut keilmuan sudah selesai sejak lama. Namun, karena produktivitas sawit kita sangat unggul dibandingkan dengan minyak kedelai, isu gambut menjadi melebar ke mana-mana dan seakan tidak ada ujungnya," kata Supiandi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com