Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembajakan di Perairan Filipina Muncul karena Tak Ada Kekuatan Dominan

Kompas.com - 26/06/2016, 12:38 WIB
Heru Dahnur

Penulis

PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Serentetan insiden pembajakan yang dilakukan kelompok bersenjata di perairan laut Filipina, dianggap bukan lagi kejadian mengejutkan.

Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, perairan laut Filipina sejak dahulunya kerap menjadi ajang perebutan hegemoni kelompok tertentu.

"Perebutan wilayah sudah ada sejak abad 16-17 Masehi. Ketika itu kerajaan-kerajaan dari Nusantara, seperti Kalimantan dan Sulawesi saling berhadapan dengan Mindanao," kata pakar Sejarah Maritim Universitas Andalas, Profesor Gusti Asnan, saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (26/6/2016).

Perebutan kekuasaan tempo dulu, kata Gusti, nyaris sama dengan kondisi saat ini, yakni bermotif ekonomi dan kebutuhan kedaulatan politik.

"Ketika masing-masing kekuatan tidak ada yang mendominasi, maka wilayah itu terus menerus menjadi jalur yang tidak aman," kata Gusti Asnan.

"Sempat kerajaan Sulu berkuasa dengan kuat, maka aktivitas pembajakan bisa diredam. Ketika Sulu melemah, yang lain kembali berebut pengaruh," ujarnya.

Menurut alumni program doktor dari Universitas Bremen, Jerman, aktivitas pembajakan yang dahulunya dikenal dengan istilah menyamun atau melanun di perairan laut Filipina, tidak hanya menyasar para saudagar-saudagar Asia.

Aksi perompakan juga melanda kapal-kapal Eropa yang mulai berdatangan di penghujung abad ke-15.

"Bagi bangsa Eropa mereka menganggap itu perompakan, tapi bagi perompak itu sendiri, mereka menganggap sebagai penguasa wilayah. Siapa yang lewat harus ada kompensasi," kata Gusti Asnan yang telah merampungkan buku berjudul, "Kapal-kapal Jepang di Indonesia".  

Filipina Lemah

Tidak amannya jalur pelayaran di laut Filipina, kata Gusti tak bisa dilepaskan dari kondisi pemerintah Filipina yang lemah.

Rongrongan pemberontakan kelompok bersenjata dari daerah Selatan, memaksa konsentrasi keamanan wilayah Filipina terpecah.

Tidak hanya diganggu pemberontakan domestik, Filipina diketahui saat ini sedang berseteru dengan China. Hal ini membuat kedaulatan laut seakan tidak bertuan.

"Kalau bisa dibilang, sudah dunianya di sana, berbagai pihak saling berseteru. Selagi tidak ada yang kuat, itu adalah daerah konflik," ujar Gusti Asnan.

Dalam kondisi ini, pemerintah Filipina, kata Gusti, mau tidak mau harus fokus mengurusi pemberontakan bersenjata di dalam negerinya. Ada aspirasi politik dan ekonomi yang disuarakan pemberontak dan itu harus diperhatikan. 

"Kelompok dari Sulu sejak masa koloni Spanyol dan Amerika dulunya sudah berkonflik juga. Aspirasinya harus diperhatikan, apakah dalam bentuk kemerdekaan atau otonomi istimewa," ucap Gusti.

Pindah Jalur

Terkait kondisi yang belum aman, Gusti Asnan menyarankan pemerintah Indonesia untuk tegas mengawasi rute pelayaran anak bangsa. Sebaiknya pemerintah melarang penggunaan jalur pintas di perairan Sulu, karena rawan.

"Biasanya masuk Selat Makassar terus ke Utara. Jika hendak ke Tiongkok atau Formosa Jepang, sebaiknya belok kanan, lewat Timur baru masuk Samudera Pasifik. Memang melingkar agak lama, tapi lebih aman," ujar Gusti Asnan yang kini mengajar di Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Unand.

Kompas TV 6 dari 13 ABK yang Disandera Tiba Selamat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com