Matahari mulai menampakkan taringnya ketika kayuh sepedaku terhenti di ujung jalan di bawah pohon yang rindang.
Nampak lelaki tua berbaju hitam berikat kepala mengayun cangkul dengan khusyuk, seakan setiap ayunannya melambangkan persenyawaan pikir dan jiwanya.
Sementara di tepian sawah di ujung pematang, pada sebuah saung yang ala kadarnya, nampak ada keriangan makan siang walau keriangan itu tak sehangat hari biasanya.
Mataku kembali tertuju kepada pekerja tua yang terus bekerja seolah tak mempedulikan apa yang terjadi pada lingkungannya.
Sesaat badannya terloncat kemudian tangannya meraih sesuatu dari balik tanah. Ternyata dia mengambil belut sawah, dimasukkannya ke tempat kecil yang tersandang di balik pinggangnya.
Pikiranku tertegun, aku melihat dirinya. Lelaki tua itu tetap berpuasa dalam terik matahari dan guyuran keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
Keyakinan dan keteguhannya telah melahirkan energi besar untuk mampu bertahan di tengah beratnya pekerjaan yang harus ditekuni.
Nampak puasanya tak menjadi rasa bangga atau bahkan kesombongan dengan sikap yang ingin dihormati.
Kegirangan sahabatnya dalam hening sambal lalap dan goreng ikan mujair pengikat bahagia, tak membuatnya marah atau melarang atas nama titah kesucian.
Dia memahami setiap manusia memiliki kondisi fisik dan psikis yang berbeda. Senyum manis penuh bahagia nampak terlihat dari raut wajah yang berhias cipratan lumpur sawah, melihat kebahagiaan nikmatnya makan siang sahabat penikmat terik matahari.
Dari kejauhan sayup terdengar bedug dhuhur. Lelaki tua itu bergegas menuju sungai kecil yang mengalir jernih seakan menggambarkan kejernihan pikiran dan hati sang pemilik cangkul tua.
Selepas membersihkan badannya, lelaki tua itu menatap sahabat-sahabatnya dengan sikap santun dan bersahaja. Bergegas berjalan menuju kampung yang nampak riang di tengah pekik kegelisahan masyarakat perkotaan terhadap kenaikan berbagai kebutuhan keseharian.
Sesampainya di rumah, seorang perempuan tua menyambutnya penuh hangat. Tangan perempuan tua itu nampak terampil membuat gula aren, minyak kelapa, berbagai penganan dari ketela serta bulir-bulir padi yang ditumbuknya sendiri.
Di sudut tanah di belakang rumah, puluhan ekor kambing menanti sapaan sang tuan yang selalu memeluknya penuh kasih. Di sudut-sudut pelataran aneka sayuran melambai menyapa siang.
Aku tertegun, kesadaran batinku terkoyak. Lelaki tua itu tak berbalut kain sorban, tapi berlumur tanah dibalut terik matahari.
Kemandirian perempuan tua itu tak berbalut visi kerakyatan, menyediakan seluruh kebutuhan tanpa sedikitpun bergantung pada negara.
Kuraih kembali sepedaku, akan kulawan terik matahari. Dalam hatiku bergumam, ternyata aku bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa dibanding mereka berdua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.