Beberapa waktu yang lalu kususuri sudut-sudut kampung dengan bersepeda melewati parit dan pematang sawah. Nampak hamparan padi bak permadani hijau mengelus sudut-sudut mata yang setiap hari letih oleh pantulan cahaya benda kaca, menggiring opini, mengubah pikiran manusia, menentukan sedih dan bahagianya para pemilik, pengagum dan penggemar.
Riuh kehidupan ditentukan dalam sudut-sudut ruang sempit berdasarkan informasi multimedia yang tersaji. Hebat atau tidaknya seseorang, sukses atau gagalnya sebuah pembangunan, tergantung seberapa canggih terkendalinya seluruh sajian yang dinakhodai oleh para netizen.
Selfie adalah ritual baru yang menjadi dzikir kolektif, mengaktualisasikan diri dalam setiap sudut pandang. Persahabatan dan kekerabatan kini terkoneksi secara universal tanpa melihat sudut batas asal usul genetik dan teritorial, semuanya beragama kekinian dalam mazhab digital.
Namun, mazhab universalitas hubungan tanpa batas ternyata belum mampu mengubah pikiran kaum sektarian yang setiap hari terus berteriak dan berjingkrak atas nama Tuhan, atas nama agama, menolak prinsip-prinsip universalitas, kesetaraan, kemanusiaan, toleransi, bahkan kekinian dengan menggunakan perangkat yang merupakan karya terbesar dalam peradaban dari orang-orang yang setiap saat dihakimi dan dikafirkan.
Tetapi spirit konektivitas ternyata telah melumpuhkan saraf-saraf ragawi untuk hidup normal sebagai manusia; bertegur sapa dengan keluarga, berbagi rasa dengan tetangga, berkunjung kepada sanak saudara.
Setiap saat, kita bisa dapatkan berbagai adegan peristiwa yang lucu; suami istri duduk berdampingan, satu sama lain tidak saling bicara, melainkan tersenyum atau cemberut membaca tampilan seluruh gawai cantik dalam genggamannya, yang senantiasa berubah seiring dengan model dan kecanggihan dari merk yang disukai.
Terkadang kita jumpai pula satu ruangan pegawai yang begitu serius menatap seluruh perangkat cyber di hadapannya hingga tak mampu menoleh ke kiri dan kanan teman sekantornya.
Dalam kayuh perjalanan sepedaku, kutemukan dua peristiwa. Bah Kadim, seorang tua renta yang tinggal di sudut kampung dalam kesendirian dengan tubuh yang sudah tak berdaya.
Di hari yang lain, kayuh sepedaku terhenti di Margasari. Sebuah perkampungan sampah “tanpa bau” dan “tanpa lalat”. Kudapati gubuk tua di sudut kampung. Air mataku meleleh, badanku gemetar.
Seorang kakek tua bernama Ahmad terbaring di atas selembar busa tanpa seprei. Kembali aku bertanya, di mana keluarganya?
Seorang lelaki tua yang sering menemaninya berkata, bahwa kedua anaknya tinggal di luar kota. Tak pernah ada sapa, tak pernah ada tanya. Betapa malangnya Bah Kadim dan Ki Ahmad, hidup tercerabut dari akar kekerabatan di era cyber dan digital.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.