Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wehwehan, Tradisi Masyarakat Kaliwungu Sambut Maulid Nabi

Kompas.com - 24/12/2015, 04:17 WIB
Kontributor Kendal, Slamet Priyatin

Penulis

KENDAL, KOMPAS.com - Dalam menyambut maulud Nabi Muhammad SAW, masyarakat Kaliwungu di Kendal, Jawa Tengah, melakukan tradisi Weh wehan atau Ketuwinan.  Mereka berkunjung kepada tetanga ataupun kerabat, serta saling memberikan makanan.

Weh wehan mulai dilakukan usai Ashar hingga esok harinya.

Menurut salah satu warga Kaliwungu H. Dody Bom bom (45), weh wehan sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Tradisi itu dilakukan oleh para ulama penyebar agama Islam di Kaliwungu sekitarnya, dengan tujuan untuk memperingati hari lahir dan meninggalnya Nabi Muhammad.

"Tradisi itu terus dipertahankan sampai sekarang," kata Dody, Rabu ( 23/12/2015).

Dody menjelaskan, tradisi weh wehan atau ketuwinan hanya dapat dijumpai di Kota Kaliwungu. Istilah weh wehan berasal dari kata weweh (Bahasa Jawa) yang berarti memberi, sedangkan istilah ketuwinan berdasar dari kata tuwi atau tilek (Bahasa Jawa). Artinya menengok atau berkunjung atau silaturahmi.

"Jadi weh wehan atau ketuwinan artinya memberi atau berkunjung atau bersilaturohim kepada tetangga, teman, kerabat, atau saudara," ujarnya.

Masyarakat Kaliwungu, sebut dia,  menyiapkan berbagai makanan tradisional yang dihidangkan di depan rumah masing-masih. Mereka seperti berjualan. Tetangga yang berkunjung untuk memberi makanan, akan diganti dengan makanan miliknya.

Makanan tradisional yang dihidangkan, adalah Sumpil. Sumpil terbuat dari nasi yang dibungkus oleh daun bambu (seperti ketupat) berbentuk segita. Cara memakannya dicampur dengan sambal kelapa.

"Tapi sekarang, makanannya sudah tidak hanya sumpil, tapi juga ada roti dan lainnya," ucapnya.

Hal senada juga diakui oleh Mardiyono (42). Warga asli Kaliwungu ini, mengaku kalau tradisi weh wehan atau ketuwinan, sudah ada sejak dia kecil.

Selain tradisi weh-wehan, tambahnya, ada juga teng-tengan. Teng-tengan adalah semacam lampu lampion, terbuat dari bilah bambu dan kertas yang di dalamnya ada lampu dari minyak.

Pada awalnya bentuk lampion ini masih terbatas pada bentuk pesawat, perahu ataupun bintang. Namun seiring berjalannya waktu, kreatifitaspun tumbuh. Di dalam lampion, tidak lagi lampu dari minyak, tapi sudah berganti nyala lampu listrik.

"Lampion biasa dipasang di depan rumah di bulan Maulud ini. Namun untuk yang suka kepraktisan biasanya teng-tengan ini diganti dengan lampu hias listrik warna-warni," ucap Mardiyono.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com