Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cahaya dari Rumah Pintar Astra Bandung

Kompas.com - 31/10/2015, 15:42 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

KOMPAS.com - Lia, Anisa, Nadia, tampak serius memandangi layar komputer. Tangan mereka berebut memegang mouse dan mencoba memecahkan soal yang diberikan guru.

"Ini gimana ya? Tadi gimana caranya mem-blok kalimat?" ujar Nadia kepada dua temannya di Rumah Pintar Astra, Kelurahan Pasirluyu, Kecamatan Regol, Kota Bandung, belum lama ini.

Mereka adalah tiga dari lima enam anak yang tengah belajar komputer saat itu. Karena hanya ada dua komputer yang dioperasikan, masing-masing komputer dipegang tiga anak.

Mereka dipandu seorang guru via proyektor yang tersembung pada laptopnya.

Meski harus bergiliran, belajar bersama, kadang berebut, mereka sangat antusias dengan komputer.

Maklumlah, meski gadget dan komputer hal biasa untuk anak kota, tapi bagi anak-anak ini, komputer adalah bawang merah.

Walaupun secara geografis, mereka tinggal di Kota Bandung, jangankan komputer, bagi anak-anak yang rata-rata dari golongan bawah ini, bisa sekolah saja sudah bersyukur.

Penghasilan orangtua mereka, yang salah satunya berprofesi sebagai satpam, hanya mampu menyekolahkan tanpa embel-embel lainnya, seperti membelikan anak-anak komputer.

Di tengah keterbatasan ekonomi, anak-anak ini memiliki semangat yang luar biasa. Itulah yang membawa mereka mau belajar gratis, walaupun kadang berebut di Rumah Pintar Astra.

"Saya tidak punya komputer di rumah. Belajar komputer baru sekarang ini. Seneng banget bisa belajar komputer gratis," ujar Anisa kepada Kompas.com.

Daerah Sukaluyu, Kecamatan Regol, Kota Bandung menjadi bidikan Astra. Selain karena lokasinya yang berdekatan dengan Astra Biz Center, Sukaluyu dipilih karena kondisi masyarakatnya.

Menurut Ketua Yayasan Nurul Fallah yang juga pengelola Rupin Astra, Yayat Rustandi, warga RW 08 merupakan daerah terpadat di Kelurahan Sukaluyu, Kecamatan Regol.

Ada sekitar 6.000 warga, yang 60-70 persen di antaranya merupakan masyarakat bawah yang bekerja di antaranya sebagai buruh pabrik dan berjualan keliling.

"Di sini padat penduduk. Satu rumah bisa lebih dari satu KK, dan 60-70 persen di antaranya kurang mampu," ucap Yayat.

Karena masalah ekonomi itu pula, rata-rata tingkat pendidikan di daerahnya hanya sampai SMP. Bahkan ada kalanya mereka ogah-ogahan untuk sekolah dan memilih mencari uang. Karena sekolah pun ujung-ujungnya untuk mencari uang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com