Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/07/2015, 15:00 WIB
Oleh Jean Rizal Layuck dan Defri Werdiono

Usia Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, baru delapan tahun sejak menjadi daerah otonomi 7 Desember 2006, dengan lepas dari kabupaten induk Bolaang Mongondow. Meskipun tergolong muda, wujud Kotamobagu telah lengkap sebagai kota. Dari Kotamobagu terpancar kehidupan masyarakat pluralisme, dengan nuansa kekerabatan kuat.

Kehidupan spiritual masyarakat Kotamobagu dengan filosofi hidup: Moto totabian, moto tompian, moto tanoban, artinya saling menyayangi, saling memperbaiki, dan saling merindukan, menjadi modal penting pemerintah untuk membangun Kotamobagu.

Kearifan lokal itu menjalar hampir ke seluruh sendi kehidupan masyarakat, dengan berbasis adat. Pemerintah dan masyarakat akan kembali ke adat istiadat jika terjadi gesekan dalam kebijakan pembangunan.

Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara sangat memahami jika persoalan pembangunan kerap diselesaikan dengan adat masyarakat setempat yang sangat menjunjung tinggi petuah kepala adat atau yang lebih tua.

"Saya selalu menghindari gesekan karena tidak baik bagi adat. Kalau ada persoalan, saya bertanya kepada orangtua bagaimana sebaiknya," kata Tatong.

Kekerabatan masyarakat Kotamobagu dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dari berbagai etnis dan agama, terus memelihara kerukunan.

Budayawan Reiner Oentoe, di Manado, mengatakan, harmonisnya kehidupan masyarakat Kota Kotamobagu berlangsung alamiah, sejak leluhur Bolaang Mongondow menerima masyarakat pendatang ke daerahnya.

Ia mencontohkan kedatangan transmigran dari Pulau Jawa yang mendiami sebagian wilayah Bolaang Mongondow tahun 1970-an dan transmigran lokal dari Minahasa akibat letusan Gunung Agung, disambut baik warga setempat.

Ia mengakui terdapat sedikit gesekan antara masyarakat pendatang dan warga setempat dalam soal tanah. Penyebabnya, pemerintah ketika itu "mencaplok" sebagian tanah adat dan masyarakat untuk kepentingan proyek transmigrasi.

Namun, semuanya dapat diselesaikan dengan baik meskipun berlangsung dalam waktu lama. "Tamu yang datang ke Kotamobagu diperlakukan sebagai raja, malah disambut dengan tarian," katanya.

Erni Simbala, dosen FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang berasal dari Bilalang, Kotamobagu, menyebutkan, kehidupan spiritual tercipta karena perkawinan etnis dan agama yang telah berlangsung lama tanpa memunculkan konflik.

Ia mengatakan, agama dan etnis bukan persoalan penting dalam struktur masyarakat Kotamobagu, dengan memahami adat Bolaang Mongondow. Bahkan dalam beberapa acara keagamaan Kristen, kerap memakai bahasa setempat.

"Di gereja kami kerap dilombakan membaca Alkitab dari bahasa Mongondow," katanya.

Masyarakat Kotamobagu tidak bisa lepas dari Bolaang Mongondow yang 76 persen mendominasi masyarakat Kotamobagu, disusul etnis Minahasa 14 persen, Gorontalo 5 persen, dan sisanya pendatang dari Pulau Jawa yang bertransmigrasi dekade tahun 1970-an.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com