Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Wanita Renta Gantungkan Hidup dari Bongkahan Tanah Liat

Kompas.com - 05/06/2015, 18:44 WIB
Kontributor Bireuen, Desi Safnita Saifan

Penulis

BIREUEN, KOMPAS.com - Kemiskinan membawa mereka terus bersama dalam duka. Tak layak disebut suka, karena kedua kakak beradik yang uzur dimakan usia ini saban hari menjalani sisa hidup yang kian getir.

Pada Jumat (5/6/2015), Asiah Amin (65) dan Syaribanun (60), tinggal di sebuah rumah tak layak huni yang berdinding rumbia dan beralas tanah lembab. Hanya ada satu kamar berukuran 1X2 meter dan dapur tanah di sebelahnya kurang dari 2X3 meter.

Bisa dibayangkan seberapa terbatasnya akses kedua lansia ini untuk bergerak. Terdapat beberapa gelas dan piring plastik kumuh yang menancap tak beraturan di dinding. Namun, dari keduanyalah kita patut mencontoh bagaimana mensyukuri nikmatnya hidup.

Keduanya melalui sisa hidup mereka, nyaris tanpa mengeluh dan putus asa. “Pernah saya dapat bantuan beras raskin dan uang, alhamdulilah bisa untuk makan beberapa hari,” ungkap Syaribanun, sang adik.

Lebih sering luput dari bantuan, keduanya tak lantas berdiam diri menunggu para dermawan. Tertatih-tatih mereka menuju bukit di belakang rumah, dengan satu tujuan mengambil tanah liat. ”Paling sanggup setengah karung kecil, itupun sekali pergi. Karena usia kami agak lamban,” sebut Syaribanun tersipu.

Tanah liat itulah dijadikan modal mereka membentuk kuali tanah. Dibentuk seadanya. Syaribanun pun tak bisa menghitung berapa yang mampu ia selesaikan dalam satu minggu. ”Tidak ingat berapa sanggup. Karena kalau sehat saya buat. Kalau tidak saya istirahat,” kata dia seraya menyebut matanya yang mulai rabun menghambat kegiatannya itu.

Ironisnya, jika harga pasar untuk belanga tanah mulai dari Rp20 hingga Rp50 ribu per buah, dari kedua lansia ini dibeli para agen berkisar Rp3 hingga Rp4 ribu saja. ”Itupun sering dibayar lama degan alasan belum laku,” kata Asiah menimpali pelan, karena kesehatannya sedang menurun.

Ditanya tentang pengobatan apa yang mereka lakukan, Asiah menyebut berobat pada bidan desa secara gratis merupakan solusi satu-satunya yang mereka tempuh. Apakah sakit berat atau ringan, mereka tak punya alternatif lain yang bisa diupayakan. ”Siapa yang mau membawa kami kalau sakit. Apalagi malam hari di sini gelap gulita tak ada listrik sama sekali,” ungkap Syaribanun lirih.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com