Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Darlan, UNESCO, dan Gula Merah Borobudur yang Nyaris Punah

Kompas.com - 11/05/2015, 10:31 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Di tengah gempuran produk-produk pemanis modern, Darlan (60), masih bertahan memproduksi gula merah tradisional hasil sadapan nira pohon kelapa yang tumbuh di perkebunan lereng Menoreh, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

Setiap hari, Darlan membuat gula merah dibantu oleh sang istri, Surati (53), di dapur rumah yang sangat sederhana, di Dusun Wonotigo, Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur. Pun peralatan yang dipakai Darlan, jauh dari kesan modern. Hanya berupa beberapa tungku kayu, wajan, sendok kayu, dan belasan tempurung kelapa yang digunakan sebagai cetakan gula merah.

Darlan mengaku sudah sejak puluhan tahun lalu, dia dan keluarga memproduksi gula merah menggunakan resep yang diwariskan secara turun temurun. Kakek dua cucu itu berpendirian, gula merah merupakan resep warisan nenek moyang yang harus dilestarikan.

Bahan baku yang digunakan cukup diambil dari pohon kelapa di lahan perkebunannya. Setiap hari, Darlan mampu menghasilkan gula merah antara 1-5 kilogram yang ia jual kepada warga sekitar dan di Pasar Borobudur.  Harganya berkisar Rp 13.000-Rp 15.000 per kilogram.

"Gula merah kami memiliki keunggulan rasa manis yang lebih mantap dan tanpa campuran apapun. Pakai gula pasir hanya kami pakai untuk menghilangkan sisa-sisa gula merah yang masih menempel pada cetakan, tidak kami campur pada adonan gula merah," kata Darlan, Minggu (10/5/2015) kemarin.

Menurut Darlan, yang juga seorang buruh serabutan itu, dahulu gula merah buatannya mampu dipasarkan hingga luar Borobudur, bahkan hingga Yogyakarta. Namun, seiring banyaknya produsen gula merah, terlebih menjamurnya produk-produk gula sintetis, mengakibatkan gula merah milik Darlan ikut lesu.

Kondisi tersebut juga memicu pembuat gula merah sekitar Borobudur ikut gulung tikar. Sebagian besar dari mereka beralih profesi menjadi karyawan perusahaan, pedagang, dan profesi lainnya. Produsen gula merah pun kian langka di Borobudur.

"Kalau dulu mayoritas kepala keluarga (KK) di sini adalah pembuat gula merah. Namun kini sisa 11 KK dari 50-an KK yang bertahan, termasuk saya. Lahan perkebunan kelapa juga kini kian berkurang," ungkap Darlan.

Selain itu, lanjut Darlan, generasi penerus pembuat gula merah juga semakin minim. Tidak banyak, bahkan nyaris tidak ada lagi generasi muda yang mau membuat gula merah. Era kini, mereka lebih suka bekerja sebagai karyawan.

"Padahal kalau menjelang hari besar, seperti Hari Raya Idul Fitri, permintaan gula merah cukup tinggi. Harga juga tinggi. Tetapi kami sering kewalahan, karena kekurangan tenaga. Sementara anak-anak sekarang jarang ada yang mau bekerja menjadi pembuat gula merah," ungkap Darlan.

Menurut Darlan, butuh promosi yang gencar agar gula merah Borobudur kembali laris di pasaran. Selain membuat gula merah, ia juga berkreasi membuat anek camilan atau makan kecil dari bahan baku ketela pohon. Seperti Lenteng atau Opak, Kara atau Selondok, dan sebagainya.

Mendapat perhatian UNESCO
Mura Aristina, tokoh masyarakat setempat, menceritakan bahwa dahulu sebagian besar warga di sekitar Dusun Wonotigo merupakan perajin gula merah atau sering disebut gula jawa. Warga membuat gula merah untuk kemudian ditukar dengan beras di pasar tradisional.

"Jaman dulu gula merah bisa ditukar atau barter dengan beras. Orang dulu kebutuhan pokoknya hanya beras, sedangkan sayuran dan bumbu lain mereka tinggal petik saja di perkebunan," ucap Mura.

Untuk membantu promosi gula merah khas Wonotigo, Mura mengaku sudah bekerjasama dengan organisasi UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) melalui Program Village and Heritage Tour Borobudur.

Pada Program ini wisatawan diajak untuk berkeliling ke sejumlah desa-desa sekitar Candi Borobudur yang memiliki potensi wisata unik, seperti wisata Sunrise termasuk mengunjungi perajin gula merah milik Darlan.

"Perajin gula merah ini menjadi salah satu dari sejumlah usaha di desa-desa Borobudur yang menjadi perhatian UNESCO. Dalam pengembangan usaha hingga pemasarannya ke depan akan didampingi oleh UNESCO," kata Diana Setyawati, Project Coordinator UNESCO Jakarta, Borobudur Sub-Office.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com