“Kenapa tidak dijadikan saja seperti Monas di Jakarta, atau seperti Borobudur di Magelang,” kata Nyaksih Phaisal, Dewan Daerah Walhi Aceh, Rabu (4/3/2015) di Meulaboh.
Aktivis Walhi ini sangat menyesalkan tindakan pemerintah setempat yang menyita batu giok 20 ton dengan cara dibelah, dan dipindahkan dari lokasi penemuan awal untuk digudangkan sementara di rumah Ketua DPRK setempat. Alasannya demi mencegah terjadinya keributan antarwarga.
“Pemerintah tugasnya memediasi dan menyelesaikan masalah antar warga yang ingin mengambil batu itu, bukan malah pemerintah yang mengambil batu sementara warga dilarang,” kata dia.
Demi peningkatan ekonomi masyarakat dan masa depan Aceh, seharusnya giok 20 ton yang ditaksir harganya mencapai Rp 30 miliar itu tetap dibiarkan berada dalam kawasan hutan lindung.
Diharapkan wujud bongkahan giok raksasa itu bisa menjadi daya tarik kunjungan wisata dari berbagai penjuru dunia. “Kalau dijadikan monumen dan objek wisata pasti dengan kedatangan wisatawan ke hutan lindung itu bisa meningkatkan pendapatan ekonomi pemerintah dan warga setempat” ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.