Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Susah Payah Mengandung 9 Bulan, Meninggal Mengenaskan di Lubang Tambang..."

Kompas.com - 04/02/2015, 18:07 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani Julius

Penulis


BALIKPAPAN, KOMPAS.com – "…susah payah mengandung selama sembilan bulan, bertarung dengan maut saat melahirkan, dan membesarkan seorang anak dengan penuh perjuangan. … meninggal mengenaskan di lubang-lubang tambang…"

Itu sekelumit kalimat yang ditulis Yulita Lestiawati, pegiat lingkungan di Balikpapan Kalimantan Timur, pada sebuah dinding portal petisi online Change.org pada 28 Desember 2015.

Dalam tulisannya, Yulita sebagai sesama seorang ibu turut merasakan kepedihan hati Rahmawati, ibu dari Muhammad Rayhan Saputra (10 tahun) yang tewas tenggelam di danau bekas tambang batubara yang belum direklamasi di Bengkuring Sempaja Selatan Kota Samarinda, satu minggu sebelum petisi itu ditulis. Yulita mengunggah judul ‘Tutup lubang-lubang tambang maut perenggut nyawa anak-anak kami!!’ di www.change.org/tambangMaut.

Melalui tulisan, dia mendesak Wali Kota Samarinda dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk segera mengambil tindakan tegas atas tragedi ini.

Kendati perlahan mencuri perhatian, jelang hari ke-40 sudah lebih dari 7.500 orang menyatakan dukungan dengan membubuhkan tanda tangan pada ‘seruan’ Yulita. Berbeda memang dengan dukungan masyarakat pada Bambang Widjojanto, pimpinan KPK yang diciduk polisi beberapa waktu lalu. Tempo dua jam pasca petisi terpampang di petisi online, 6.000 netizen tumpah ruah mendukung KPK perlu diselamatkan.

“Pemerintah mesti mengambil tindakan menyelesaikan persoalan ini. Sudah lebih dari 7500 tandatangan masyarakat terkumpul meminta pemerintah segera mengambil tindakan,” kata Direktur Komunikasi Change.org Desmarita Murni, dalam keterangan pers-nya, Rabu (4/2/2015).

Rayhan, anak dari Rahmawati dan Misransyah. Mereka tinggal di Jalan Padat Karya RT 68 Sempaja Selatan, tak jauh dari danau bekas lubang tambang milik PT GBE. Warga sekitar menggunakan air danau itu untuk keperluan rumah tangga, termasuk Rayhan sekeluarga.

Rahmawati mengisi hari-harinya dengan berjualan nasi campur dan gorengan di depan rumahnya, sedangkan Misransyah cuma kuli toko peralatan kapal. Rayhan sendiri siswa sekolah dasar.

Tragis, Rayhan yang baru dua hari mencicipi libur semester ganjil ditemukan tewas di kedalaman 8 meter danau GBE. Rayhan menggenapi sembilan bocah yang tewas dengan cara sama, yakni tenggelam di lubang tambang di Samarinda sejak 2011 lalu.

“Cukuplah sudah Rayhan anak saya jadi korban terakhir. Saya berharap kepada pemerintah, khususnya Bu Menteri agar cepat-cepat menyelesaikan masalah ini,” tulis Rahmawati di petisi serupa dengan judul ‘Tutup dan hukum perusahaan dan pemilik lubang tambang’.

Petisi ini juga mendapat sambutan lebih dari 7.500 tanda tangan. Kapan Hukum Beri Kepastian Menanggapi desakan ribuan orang ini, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kembali mempertanyakan kinerja kepolisian, DPR RI, hingga Komnas Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Pertanyaan sama sejatinya pernah dilayangkan melalui surat pada 24 April 2013 dan 21 April 2014.

Jatam menilai penyidikan kasus ini berlarut-larut dan tanpa kepastian. Sembilan anak dari tujuh keluarga masih mencari keadilan. Jatam merasa aparatur mengendur, terlebih jika kasus-kasus kejahatan tambang selama ini melibatkan tokoh-tokoh penting dan pemilik modal. Jatam pun ikut member dukungan demi mendesak Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menutup seluruh tambang dan mencabut izin perusahaan yang bermasalah.

“Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga harus menghukum perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab sesuai dengan UU Lingkungan Hidup No.32/2009. Dan yang paling penting, pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap izin-izin perusahaan tambang yang beroperasi dekat pemukiman,” kata Staf Riset dan Pendidikan Jatam, Mega Triany.

Atas kehilangan serupa, bahkan ada yang sekaligus kehilangan dua orang putranya, hingga kini tidak pernah ada pihak yang bertanggung jawab dan dipidana atas kehilangan yang dirasakan oleh para ibu ini.

“Kami menuntut pemerintah bertindak tegas kepada pelaku, yaitu perusahaan yang lalai. Lalu memerintahkan penutupan lubang tambang di areal pemukiman penduduk dan menuntut pidana atas kelalaian perusahaan,” tambah Mega.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com